Oleh: Faizal Adyanto

Angin malam menyusup di celah-celah pepohonan pinus saat Lestari melangkah menuju Sendang Gondoarum, sendang tua yang terletak di lereng Gunung Sindoro. Ia membawa kendi tanah liat, seperti tradisi yang diwariskan turun-temurun. Malam Selasa Kliwon dipercaya waktu terbaik untuk mengambil “banyu ireng”—air sendang yang konon bisa menyembuhkan dan menjaga kesuburan tanaman tembakau.


Lestari baru pertama kali melakukannya sendiri sejak ibunya meninggal sebulan lalu. Warga desa Wonosari memang sudah lama enggan ke sana, apalagi setelah kejadian aneh menimpa beberapa petani yang nekat mengambil air tanpa ritual. Ada yang sawahnya membusuk, bahkan ada yang hilang tanpa jejak.


Namun Lestari, yang keras kepala, tetap berangkat. Ia tidak percaya takhayul. Air hanyalah air.


Sendang itu sunyi. Hanya suara gemericik air dan dedaunan jatuh yang terdengar. Ia menunduk, mencelupkan kendi, lalu tiba-tiba... angin berhenti. Hening. Seperti dunia menahan napas.


Ia menoleh. Di seberang sendang, berdiri sosok perempuan berambut panjang menjuntai, mengenakan kebaya basah kuyup. Wajahnya tidak jelas, namun Lestari bisa merasakan tatapan dingin menembus tulangnya.


Perempuan itu mendekat tanpa suara, kaki tak menyentuh tanah. Air sendang menjadi hitam, pekat seperti tinta. Lestari terdiam, tubuhnya tak bisa digerakkan.


“Kau... tak membaca doa,” bisik perempuan itu lirih, seolah angin berbicara langsung di telinga Lestari.


Tiba-tiba kendi di tangan Lestari pecah, air muncrat ke wajahnya. Ia menjerit—namun tak ada suara keluar.


Keesokan paginya, warga menemukan Lestari di tepi sendang. Tubuhnya kaku, matanya terbuka menatap langit. Di sampingnya, tertulis dengan arang di tanah:


“Air ini bukan sekadar air. Ini warisan penjaga.”


Sejak itu, tidak ada yang berani lagi mendekati Sendang Gondoarum. Banyu ireng dibiarkan tetap hitam. Dan tiap malam Selasa Kliwon, suara tangisan perempuan masih terdengar samar dari arah sendang.

Bagikan :

Tambahkan Komentar