oleh : Ratna Sari

Desa Karangjati terkenal tenang dan damai. Namun, tak ada yang berani mendekati rumah tua di ujung desa. Rumah itu milik keluarga Pak Wiryo, yang sejak tragedi misterius beberapa tahun lalu, ditinggalkan begitu saja. Konon, sejak kematian putri bungsunya, Sari, yang ditemukan tewas tergantung di loteng rumah itu, tempat itu menjadi angker. Tak ada yang tahu alasan kematiannya, hanya bisikan-bisikan warga yang menyebut ada “sesuatu” yang menghuni cermin tua peninggalan neneknya.


Suatu hari, Dani, seorang mahasiswa dari kota, datang ke desa itu. Ia menyewa rumah Pak Wiryo untuk penelitian tugas akhirnya tentang bangunan tua peninggalan zaman kolonial. Warga sudah memperingatkan, tapi Dani hanya tertawa.


"Apa mungkin hantu bisa keluar dari cermin? Terlalu banyak nonton film," ujarnya sambil tertawa kecil.


Hari pertama dan kedua berlalu tanpa kejadian aneh. Dani membersihkan rumah, mengambil foto-foto, dan mencatat detail arsitektur. Namun, saat ia naik ke loteng di hari ketiga, udara berubah. Debu, bau apek, dan hawa dingin menyambutnya. Di tengah ruangan, ia melihat sebuah cermin besar berdiri tegak. Bingkainya berukir tangan manusia yang saling mencengkeram.


Dani merinding, namun rasa penasaran membuatnya mendekat. Saat ia menghapus debu dari permukaan cermin, ia melihat bayangan seseorang berdiri di belakangnya. Ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa-siapa. Saat kembali melihat ke cermin, bayangan itu sudah menghilang.


Malamnya, Dani tak bisa tidur. Ia merasa ada yang memperhatikan dari loteng. Lantai kayu seperti berderit sendiri. Pukul dua pagi, ia mendengar suara tangis perempuan pelan. Dani keluar dari kamarnya dan mengikuti suara itu ke loteng.


Begitu ia membuka pintu loteng, suara tangisan itu berubah jadi tawa cekikikan yang menyeramkan. Ia menyalakan senter, dan melihat cermin itu bersinar samar. Di dalam cermin, ia melihat seorang perempuan berbaju putih dengan rambut panjang menutupi wajahnya.


"Siapa kau?!" tanya Dani dengan suara bergetar.


Perempuan itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arahnya, lalu menyentakkan kepala ke samping dengan suara leher patah.


Dani terlempar ke belakang dan pingsan.


Pagi harinya, warga menemukan Dani tergeletak di depan rumah tua itu. Ia terus mengigau, "Cermin... jangan biarkan dia keluar... dia marah... dia marah..."


Dani dibawa ke rumah sakit jiwa di kota. Sejak itu, tak ada yang berani lagi mendekati rumah Pak Wiryo.


Konon, cermin itu masih ada di loteng. Kadang, saat malam sunyi, suara cekikikan masih terdengar dari balik jendela atas. Beberapa orang bersumpah melihat wajah perempuan di balik cermin—wajah pucat dengan mata penuh kebencian.


Dan satu pesan yang selalu diingat warga Karangjati:

Jangan menatap terlalu lama ke dalam cermin tua. Kau mungkin tak akan melihat dirimu... tapi seseorang yang ingin menggantikannya.

Bagikan :

Tambahkan Komentar