Oleh: Ghaida Mutmainnah

Di sebuah desa kecil bernama Sukatani, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Adit. Adit duduk di kelas 5 SD, anak yang ceria, tapi sering kali sulit tidur di malam hari. Ia selalu memikirkan PR, tugas piket, atau lomba yang akan datang.


Satu malam, saat hujan rintik membasahi jendela kamar, Adit berbaring gelisah. Ia mendengar suara samar seperti musik angin. Ding… ding… dang…

Adit membuka mata. Dari celah tirai, terlihat cahaya warna-warni, seperti lampu pasar malam. Tapi bukankah pasar malam di desanya sudah lama tidak ada?


“Ah, pasti aku mengantuk dan berhalusinasi,” gumam Adit.


Namun suara itu makin jelas. Seperti ada orang yang tertawa, musik bianglala, aroma kacang goreng dan permen kapas.

Tiba-tiba, sebuah pintu kayu kecil muncul di sudut kamar Adit. Pintu itu bertuliskan:


“Pasar Malam Dalam Mimpi. Masuklah Jika Berani”

Adit mengucek matanya. “Ini… nyata?”

Dor! Pintu terbuka sendiri, mengundang Adit masuk. Tanpa sadar, ia melangkah ke dalam.


Di ujung lorong, terbentang sebuah pasar malam luar biasa. Bianglala berputar dengan lampu pelangi. Penjual balon menawarkan balon berbentuk bintang. Ada kuda-kuda kayu yang bisa tertawa. Musik sirkus mengalun lembut.


“Wow…” Adit terpesona.

“Selamat datang, Tuan Adit!” seru seekor kucing berjubah merah, membawa tongkat dengan bintang di ujungnya. “Aku adalah Meowstro, pemandu Pasar Malam Mimpi.”

“Mimpi? Jadi aku sedang… tidur?” tanya Adit.


“Ya! Tapi di sini, kamu bisa menjelajah sepuasnya. Tapi ingat: setiap wahana punya rahasia, setiap permainan punya pelajaran.” Meowstro tersenyum misterius.

Adit menaiki Komidi Putar Bintang. Kuda kayu putih yang ia tunggangi tiba-tiba hidup!


“Hai Adit! Aku Kuda Argo. Mau tahu rahasia pasar malam ini?” tanya kuda itu.

Adit mengangguk.

“Setiap anak yang datang ke sini membawa kegelisahan. 


Dan setiap wahana bisa mengajarkan sesuatu untuk hatimu.”

Komidi Putar berputar cepat. Tiba-tiba, Adit melihat bayangan dirinya sedang duduk di kelas, khawatir dengan nilai ulangan matematika. Ia melihat gurunya tersenyum lembut sambil berkata, “Tak apa gagal sekali. Yang penting, terus belajar.”

“Apakah… itu pesan untukku?” tanya Adit.

“Ya. Jangan takut gagal,” kata Argo. “Sekarang waktunya ke wahana berikutnya.”


Adit berjalan ke kios balon. Penjualnya seekor burung hantu memakai topi kerucut.


“Ambil satu balon. Tapi tuliskan di sana ketakutan terbesarmu,” kata Burung Hantu.

Adit mengambil spidol. Ia menulis:


“Takut membuat Ayah dan Ibu kecewa.”

Burung Hantu meniup balon itu hingga mengembang besar. “Sekarang lepaskan.”

Adit melepaskan balon. Balon itu terbang tinggi, makin kecil, hingga hilang di antara bintang-bintang. Adit merasa dadanya ringan.


Adit berjalan ke stand permen kapas. Di sana, pelayannya adalah nenek peri manis dengan rambut seperti gula kapas.


“Permen kapas ini bisa menunjukkan mimpimu,” kata Nenek Peri.

Adit menggigit permen kapas berwarna biru. Ia melihat dirinya di masa depan memakai seragam SMA, tersenyum, membawa trofi lomba menggambar. Di belakangnya, Ayah dan Ibu memeluknya bangga.


“Apakah ini akan terjadi?” tanya Adit.

“Itu akan terjadi jika kamu tidak menyerah,” kata Nenek Peri.

“Naiklah ke wahana terakhir,” kata Meowstro. Ia menunjuk Roller Coaster berkelok-kelok dengan lintasan emas.


Adit duduk di kursi depan. Roller Coaster meluncur cepat, membawa Adit ke masa-masa saat ia pernah menangis karena nilai jelek, saat dimarahi guru, saat gagal membuat layangan.


“Tapi lihat di belakang setiap kegagalan itu,” suara Meowstro bergema.

Adit melihat dirinya yang kecil belajar lebih giat, meminta maaf kepada teman, dan akhirnya bisa tertawa lagi.


“Gagal itu bagian dari naik turunnya hidup. Sama seperti Roller Coaster,” kata Meowstro.

Saat Roller Coaster berhenti, Adit turun dengan hati yang lebih tenang.


“Sudah waktunya pulang,” kata Meowstro. “Ingat, pasar malam ini hanya ada dalam mimpi. Tapi pelajarannya nyata.”

Adit melambaikan tangan. “Terima kasih, Meowstro. Terima kasih semua.”

Pintu kayu muncul lagi. Adit melangkah masuk.


Keesokan paginya, Adit terbangun. Jendela kamar terbuka sedikit, dan embusan angin membawa aroma kacang goreng.

“Pasar malam itu… mimpi?” gumam Adit.

Tapi di atas meja, ada secarik kertas kecil bertuliskan:


“Jangan takut gagal, Tuan Adit. Salam, Meowstro.”

Adit tersenyum. Hari itu ia berangkat sekolah dengan semangat baru. Ia tak lagi takut gagal, karena ia tahu kegagalan hanyalah bagian dari perjalanan.

Bagikan :

Tambahkan Komentar