Oleh : Indah Kurnia Sari
Pagi itu, kabut masih menggantung rendah di atas ladang ketika Lila melangkah keluar dari rumah panggung kayu milik kakeknya. Bau tanah basah menyambutnya, bersama suara jangkrik yang belum sepenuhnya menyerah pada siang. Ia menggenggam keranjang rotan kecil, siap memetik sayur untuk sarapan.
Di pinggir ladang, tepat di ujung petak yang belum ditanami, tumbuh sekuntum bunga liar berwarna ungu pucat. Bunga itu kecil dan tampak rapuh, dikelilingi rerumputan liar yang lebih tinggi darinya. Tapi Lila berhenti sejenak, menatap bunga itu, seolah ia baru saja melihat sesuatu yang penting.
“Aneh,” gumamnya. “Kenapa baru sekarang aku melihatmu?”
Ia jongkok, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati. Lembut. Sedikit basah karena embun pagi. Tidak ada yang istimewa, namun bunga kecil itu membuat dadanya hangat. Ia tersenyum lalu melanjutkan langkahnya ke ladang.
Sudah seminggu Lila tinggal di desa, menjenguk Kakek setelah ibunya menyuruhnya "rehat dari dunia kota". Ia semula tak ingin, merasa hidup di desa terlalu sunyi dan membosankan. Tapi setelah beberapa hari, hatinya mulai luluh. Ia bangun dengan suara ayam, tidur dengan nyanyian jangkrik, dan setiap sore duduk di beranda bersama Kakek yang bercerita tentang masa lalu.
“Kau tahu, dulu ada seorang gadis yang suka menanam bunga di setiap sudut ladang,” kata Kakek suatu sore. “Orangnya ceria, tapi keras kepala. Selalu percaya bahwa bunga bisa membuat siapa pun bahagia.”
“Siapa dia?” tanya Lila sambil menyeruput teh hangat.
“Nenekmu,” jawab Kakek, matanya menerawang. “Bunga terakhir yang ia tanam sebelum sakit adalah bunga ungu kecil. Dia bilang, bunga itu akan tumbuh kalau seseorang yang punya hati lembut lewat di dekatnya.”
Lila terdiam. Bunga ungu kecil?
Esok paginya, Lila kembali ke pinggir ladang. Bunga itu masih ada. Tapi kali ini, ia tidak sendiri. Seorang anak laki-laki, kira-kira seusia belasan, duduk di dekat bunga sambil menggambar di buku sketsa. Lila ragu melangkah, lalu batuk pelan.
Anak itu menoleh, kaget. “Oh, maaf. Aku tidak merusaknya.”
“Tidak apa-apa,” kata Lila. “Kamu siapa?”
“Aku Bima. Anak Pak Eko, yang tinggal di sebelah kebun jeruk,” katanya sambil tersenyum malu. “Kamu yang cucu Pak Hadi, ya?”
Lila mengangguk. Mereka pun mengobrol. Ternyata Bima sering menggambar bunga dan binatang di sekitar ladang. Ia pemalu, tapi cerdas dan penuh rasa ingin tahu. Lila merasa nyaman berbicara dengannya. Mereka pun sepakat bertemu di tempat yang sama esok harinya.
Hari demi hari berlalu. Setiap pagi, Lila dan Bima bertemu di dekat bunga kecil itu. Mereka berbagi cerita, tertawa, kadang diam menikmati angin yang lewat. Lila mulai merasa desa ini bukan lagi tempat pelarian, tapi tempat ia bisa benar-benar menjadi dirinya.
“Bunganya makin mekar, ya,” kata Bima suatu pagi.
“Iya,” sahut Lila. “Kau tahu, kata Kakek, bunga ini akan tumbuh kalau ada yang berhati lembut lewat.”
Bima tertawa. “Berarti kamu yang membuatnya tumbuh.”
“Mungkin kamu juga,” kata Lila pelan.
Namun seperti semua hal indah, waktu berlalu terlalu cepat. Hari terakhir liburan tiba. Lila harus kembali ke kota. Pagi itu, ia kembali ke pinggir ladang, sendiri. Bima tak datang. Mungkin tahu ia akan pergi.
Ia duduk di dekat bunga kecil itu, menatapnya lama. Angin berembus lembut. Bunga itu bergoyang pelan, seolah mengucapkan selamat tinggal.
Lila mengeluarkan pita kecil dari saku bajunya, mengikatnya perlahan di batang bunga. “Terima kasih,” bisiknya
Tiga tahun berlalu.
Lila kembali ke desa. Kali ini bukan karena dipaksa, tapi karena rindu. Kakeknya telah tiada, dan rumah kayu itu kini kosong, menunggu ia bersihkan. Saat ia berjalan melewati ladang, langkahnya terhenti. Di pinggir ladang itu, tepat di tempat yang sama, tumbuh bunga kecil berwarna ungu. Tapi kini bukan satu, melainkan puluhan.
Dan di dekatnya, berdiri seseorang dengan buku sketsa.
“Bima?” suara Lila nyaris bergetar.
Bima menoleh. Ia tersenyum, tidak terkejut. “Aku tahu kamu akan kembali.”
“Bunganya… jadi banyak.”
Bima mengangguk. “Aku tanam beberapa benih di sekitar sini. Kupikir, kalau kau kembali dan melihatnya, kau akan tahu aku menunggumu.”
Lila melangkah mendekat, berdiri di antara bunga-bunga kecil itu. Angin meniup rambutnya, dan hatinya terasa utuh kembali.
Di pinggir ladang, di antara bunga kecil berwarna ungu, dua anak manusia yang tumbuh bersama kenangan kembali menemukan makna pulang.
Tambahkan Komentar