Oleh : Anisa Rejeki
Namaku Naila, aku duduk di kelas 5 SD. Di pergelangan tangan kiriku, ada jam tangan kecil berwarna ungu muda. Warnanya sudah agak pudar, dan talinya sedikit sobek. Tapi aku tetap memakainya setiap hari. Karena itu... hadiah ulang tahun dari Ayah.
Waktu aku ulang tahun ke-9, Ayah bilang, “Jam ini buat Naila supaya nggak telat salat dan sekolah.” Lalu dia mengecup keningku dan tertawa. Aku ingat betul wajahnya saat itu .. hangat, penuh cinta. Aku senang sekali, karena itu pertama kalinya aku punya jam tangan sendiri.
Sejak saat itu, aku selalu pakai jam itu ke mana-mana. Bahkan waktu tidur pun kadang lupa melepasnya. Ayah juga sering tanya, “Jamnya masih dipakai, kan?” Aku selalu menjawab, “Masih dong, Yah!”
Tapi semuanya berubah sejak Ayah mulai sering batuk. Lama-lama, Ayah jadi cepat lelah. Kata Ibu, Ayah harus istirahat dan berobat. Beberapa hari kemudian, Ayah dibawa ke rumah sakit. Rumah terasa lebih sunyi tanpa suaranya.
Setiap kali kami menjenguk Ayah, aku selalu menunjukkan jam tanganku. Ayah tersenyum lemah dan mengusap kepalaku. Tapi senyumnya tidak seceria biasanya. Aku tahu, Ayah sedang berusaha kuat untuk kami.
Hingga pagi itu, Ibu membangunkanku dengan pelukan yang sangat erat. Tangannya gemetar, dan matanya basah.
“Naila... Ayah sudah nggak sakit lagi. Ayah sudah tenang di sisi Allah.”
Hatiku terasa seperti pecah. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan Ibu. Rasanya seperti ada lubang besar di dalam dadaku.
Hari-hari setelah itu berjalan pelan dan sepi. Aku tetap ke sekolah, tapi seperti ada yang hilang. Di kelas, aku lebih banyak diam. Teman-teman bertanya, “Naila kenapa?” Tapi aku cuma tersenyum dan berkata, “Nggak apa-apa.”
Setiap kali aku merasa sedih atau rindu, aku melihat jam tangan itu. Jarumnya masih berdetik, seperti mengingatkanku bahwa waktu terus berjalan... walau rasanya hatiku berhenti.
Suatu sore, saat main di halaman rumah, jam tanganku tersangkut di pagar dan terjatuh. Talinya putus, kacanya retak. Aku langsung memungutnya dan menatapnya lama.
“Maaf ya, Yah... aku nggak hati-hati,” bisikku sambil menahan air mata.
Ibu yang melihatku segera mendekat dan memelukku. “Jamnya rusak nggak apa-apa, Nak. Yang penting kenangan Ayah tetap ada di hatimu.”
Keesokan harinya, Ibu mengajakku ke tukang jam di pasar. Jam itu diperbaiki, diganti talinya, dan dibersihkan. Meski bentuknya sudah sedikit berbeda, aku tetap bahagia.
Karena aku tahu, bukan soal jamnya yang penting... tapi siapa yang memberikannya.
Setiap kali jarum jam itu berdetik, aku bisa mendengar suara Ayah di hatiku:
“Naila anak hebat. Jangan menyerah ya. Ayah selalu bangga padamu.”
Kini, jam tangan itu tak sekadar alat penunjuk waktu. Ia adalah jam tangan kenangan, yang selalu membawaku kembali pada sosok Ayah, walau hanya lewat detakan waktu dan ingatan yang tak pernah padam.
Tambahkan Komentar