Oleh: Ghaida Mutmainnah
Hari itu, langit pagi terlihat cerah. Burung-burung berkicau di pohon jambu depan rumah Aini, seolah memberi semangat. Aini, gadis kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah, duduk bersila di ruang tengah sambil memegang buku Iqra’. Ia menghela napas pelan.
“Aini belum hafal semua huruf hijaiyah, Bu…” katanya lesu.
Ibunya, Bu Salma, tersenyum lembut. “Tidak apa-apa, Nak. Belajar itu pelan-pelan. Huruf hijaiyah itu bukan untuk dihafal saja, tapi dicintai.”
“Dicintai?” Aini mengerutkan dahi. “Bagaimana caranya mencintai huruf, Bu?”
Bu Salma tertawa kecil. “Insya Allah, kalau Aini sungguh-sungguh ingin tahu, huruf-huruf itu akan datang sendiri dalam mimpi Aini.”
Malam pun datang. Aini membaca doa tidur dan memejamkan matanya. Tak disangka, malam itu Aini bermimpi aneh: ia terbangun di sebuah taman yang dipenuhi buku-buku melayang dan pohon-pohon yang daun-daunnya berbentuk huruf. Ia ternganga melihat keindahan tempat itu.
“Selamat datang di Taman Huruf Hijaiyah!” seru seekor burung berwarna emas yang tiba-tiba hinggap di pundaknya.
“Apa? Siapa kamu?” Aini terkejut.
“Aku Nashr, penjaga taman ini. Kau telah dipilih untuk menjalani petualangan penting—mencari 28 huruf hijaiyah yang tersebar di penjuru negeri ini.”
Aini terperangah. “Untuk apa?”
“Untuk menyelamatkan dunia bacaan Al-Qur’an dari lupa dan lalai,” jawab Nashr serius. “Beberapa huruf menghilang karena anak-anak mulai lupa membacanya. Kalau tidak dikumpulkan kembali, anak-anak tak akan bisa membaca Al-Qur’an dengan benar.”
Aini mengepalkan tangan. “Aku mau ikut! Ajar aku, Nashr!”
Burung Nashr mengepakkan sayapnya. “Naiklah ke punggungku!”
Mereka pun terbang menembus awan pelangi dan tiba di sebuah padang pasir luas. Di sana berdiri sebuah gerbang batu besar bertuliskan huruf Alif.
“Ini gerbang pertama,” jelas Nashr. “Untuk membukanya, kau harus bisa mengenali huruf yang benar.”
Tiba-tiba muncul tiga pintu dengan huruf mirip, tetapi berbeda: satu lurus berdiri (Alif), satu melengkung ke atas (Lam), dan satu bercabang (Ba).
“Mana Alif?” tanya Nashr.
Aini memperhatikan dengan saksama. Ia ingat, Alif itu lurus berdiri seperti tiang. Ia pun menyentuh huruf itu. Pintu terbuka, dan angin hangat menerpa wajahnya.
“Bagus! Satu huruf kembali!” seru Nashr. Huruf Alif pun terbang ke dalam buku ajaib di tangan Aini.
Mereka pun lanjut ke negeri berikutnya—hutan gelap di mana pohon-pohon menggantung huruf-huruf kecil. Di situ, Aini harus mencari huruf Ba, Ta, dan Tsa yang bersembunyi di balik daun.
“Ba titiknya satu, Ta dua, Tsa tiga,” gumam Aini. Ia meneliti setiap daun. Setelah beberapa saat, ia berhasil menemukan ketiganya. Pohon-pohon pun bersinar terang.
“Hebat!” Nashr bersorak. “Kau mulai mengingat bentuk dan cirinya!”
Petualangan terus berlanjut. Di danau bening, Aini harus memancing huruf Jim, Ha, dan Kho yang berenang seperti ikan. Di atas langit, ia mengendarai awan untuk menangkap huruf Dal, Dzal, Ra, dan Za yang beterbangan seperti kupu-kupu.
Setiap kali Aini menemukan huruf dengan benar, huruf itu masuk ke dalam buku emas yang kini mulai penuh.
Namun, tantangan tak selalu mudah.
Saat tiba di Lembah Gelisah, Aini harus menghadapi bayangan-bayangan yang menakutkan. Bayangan itu berbisik:
“Untuk apa kau belajar huruf-huruf itu? Tak penting!”
Aini gemetar, hampir menyerah. Tapi ia teringat kata-kata ibunya: “Huruf-huruf itu bukan untuk dihafal saja, tapi dicintai.”
Dengan suara pelan namun mantap, ia membaca huruf-huruf yang ia ingat: Alif, Ba, Ta, Tsa, Jim, Ha, Kho…dan seterusnya.
Bayangan pun menghilang, dan huruf-huruf yang tersisa muncul satu per satu: Sin, Syin, Shad, Dhad, Tha, Zha, 'Ain, Ghain, Fa, Qaf, Kaf, Lam, Mim, Nun, Wawu, Ha, Lam Alif, Hamzah, dan Ya.
Ketika huruf terakhir, Ya, masuk ke dalam bukunya, taman itu bersinar terang. Sebuah suara menggema dari langit: “Selamat, Aini. Kau telah menemukan semua huruf hijaiyah. Kini kau bisa membaca Al-Qur’an dengan hati, bukan hanya lidah.”
Aini tersenyum haru. “Terima kasih… Aku ingin kembali dan belajar lebih giat lagi.”
Nashr mengangguk. “Dan sampaikan pada teman-temanmu, huruf-huruf ini bukan sekadar simbol. Mereka adalah cahaya.”
Tiba-tiba, semuanya berputar. Aini pun terbangun.
Ia menemukan buku Iqra’ di pangkuannya. Tapi kali ini, ia tidak merasa takut atau lelah. Ia membuka halaman pertama dan mulai mengeja:
Alif...ba..ta...tsa...
Bu Salma yang duduk di dekatnya tersenyum, matanya berkaca-kaca.
“Petualanganmu baru saja dimulai, Nak,” bisik beliau.
Tambahkan Komentar