Oleh: Audia Widyaningrum


Mentari pagi di Temanggung belum terlalu tinggi, tapi Ardi sudah siap dengan seragam merah putihnya yang sedikit kebesaran. Tas punggung bergambar Ultraman yang mulai pudar warnanya digendongnya mantap. "Ardi berangkat ya, Bu!" teriaknya dari ambang pintu.


Ibunya tersenyum dari dapur, "Hati-hati, Nak! Jangan ngebut!"


"Siap, Bu!" sahut Ardi sambil berlari kecil menuju sepeda kesayangannya.


Sepeda itu berwarna merah menyala, hadiah ulang tahunnya yang ketujuh. Meski ada beberapa goresan di sana-sini dan rodanya kadang berdecit, sepeda itu adalah harta karun Ardi. Setiap pagi, ia mengayuh sepeda itu melewati jalan setapak di antara sawah-sawah hijau, menuju SD Negeri 1 Temanggung.


Pagi itu, Ardi sedikit terlambat. Gara-gara semalam ia terlalu asyik membaca komik dan lupa menyiapkan buku. Ia mengayuh lebih cepat dari biasanya. Angin menerpa wajahnya, membuat rambutnya yang berantakan semakin acak-acakan. Saat hampir sampai di tikungan dekat jembatan kecil, ia melihat sesuatu.


Sebuah pensil warna kuning tergeletak di tengah jalan. Ardi mengerem mendadak, hampir saja ia terjatuh. Ia turun dari sepedanya, memungut pensil itu. Ini pensil warna yang sama dengan punya Lia, teman sebangkunya yang paling rapi dan jago menggambar.


"Pasti Lia yang jatuhin," gumam Ardi. Lia memang sering ceroboh. Minggu lalu, penghapusnya juga hilang entah ke mana.


Ardi melihat jam tangannya. Aduh, sudah pukul tujuh kurang lima menit! Gerbang sekolah pasti sebentar lagi ditutup. Ia ingin mengembalikan pensil ini, tapi kalau ia berbalik, ia pasti terlambat.


Ardi menatap pensil kuning di tangannya, lalu menatap gerbang sekolah yang sudah terlihat di kejauhan. Ia bimbang. Tapi kemudian, ia teringat kata-kata gurunya, Bu Tina: "Menolong teman itu lebih utama daripada buru-buru sendiri."


Tanpa pikir panjang, Ardi membalikkan sepedanya. Ia mengayuh kembali ke arah rumah Lia yang tidak terlalu jauh dari jembatan. Jantungnya berdebar kencang, antara khawatir terlambat dan rasa senang bisa membantu.


Sesampainya di depan rumah Lia, gerbangnya sudah tertutup rapat. Lia pasti sudah berangkat. Ardi sedikit kecewa. Ia berpikir sejenak, lalu menempelkan pensil itu di balik pot bunga di dekat pagar, tempat yang biasa mereka gunakan untuk meninggalkan pesan kecil.


"Semoga Lia lihat," bisik Ardi.


Ia kembali mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh. Kali ini, ia benar-benar harus ngebut. Keringat mulai membasahi dahinya. Saat ia tiba di depan gerbang sekolah, Pak Satpam sudah bersiap menutupnya.


"Pak, tunggu!" teriak Ardi sambil mengayuh sepedanya sekuat tenaga.


Pak Satpam tersenyum melihat Ardi yang terengah-engah. "Wah, Ardi! Tumben terlambat?"


Ardi turun dari sepedanya, membungkuk sedikit karena kelelahan. "Tadi... ada yang ketinggalan, Pak." Ia tidak mau bercerita soal pensil Lia, khawatir dikira mengada-ada.


Setelah menaruh sepedanya di parkiran, Ardi buru-buru masuk kelas. Ia duduk di bangkunya, di samping Lia. Lia sedang sibuk merapikan buku-bukunya. Ardi melihat tas pensil Lia. Kosong.


"Li, kamu cari apa?" tanya Ardi pelan.


Lia mendongak, wajahnya murung. "Pensil warna kuningku hilang, Di. Padahal mau buat mewarnai tugas Bu Tina."


Ardi tersenyum. "Nanti pulang sekolah, coba lihat di pot bunga dekat pagar rumahmu. Tadi aku lihat ada sesuatu di sana."


Mata Lia langsung berbinar. "Benarkah?"


Ardi mengangguk.


Saat pelajaran mewarnai dimulai, Lia masih terlihat cemas. Ardi melihatnya kasihan. Ia mengeluarkan pensil warna biru miliknya. "Pakai punyaku dulu saja, Li. Nanti kalau pensilmu ketemu, kembalikan ya."


Lia menatap Ardi dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih banyak, Di!"


Pulang sekolah, Ardi menunggu Lia di depan gerbang. Mereka berjalan kaki bersama menuju rumah Lia. Begitu sampai, Lia langsung berlari ke pot bunga.


"Ini dia!" seru Lia riang, mengangkat pensil kuningnya yang tadi pagi ditemukan Ardi. "Ardi, kamu yang menemukannya?"


Ardi tersipu. "Iya, tadi di jalan."


Lia tersenyum lebar. "Makasih banyak ya, Di! Kamu baik sekali!"


Ardi hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia merasa dadanya menghangat. Rasanya lebih menyenangkan bisa menolong teman daripada harus buru-buru tanpa peduli.


Di sore hari, saat Ardi mengayuh sepeda merahnya pulang ke rumah, ia menatap langit Temanggung yang mulai dihiasi awan jingga. Ia merasa janji itu terpenuhi. Janji untuk selalu berbuat baik, sekecil apapun itu. Dan janji itu, seolah-olah, tersenyum padanya dari balik awan-awan di langit.

Bagikan :

Tambahkan Komentar