Oleh Ahmad Fauzi
Penulis Buku "Kesurupan Tuhan" (Wahyu Sebagai Ideologi Kematian)


Agama yang memiliki sumber ajarannya pada wahyu ketuhanan rentan bersifat otoritarian. Salah satunya adalah Islam. Agama otoritarian akan mudah mengusir akal-sehat dan kewarasan, karena yang dituntut dalam jenis agama ini hanyalah ketundukan dan kepatuhan semata. Kritisisme dianggap sebagai kafir pembangkang yang membahayakan kemurnian agama tersebut.

Pemikiran dan pengetahuan tentu tidak akan nyaman bernaung di bawah sayap-sayap agama berjenis otoritarian ini. Umat Islam beriman bahwa wahyu tuhan adalah dogma yang kebal dari segala kritik dan pertanyaan, berlaku sepanjang zaman dan tak akan lapuk sedikitpun oleh asam karat sejarah.


Baca artikel Ahmad Fauzi
Cara Baru dalam Membaca Al-Qur'an
Keutamaan Manusia Mazhab Determinisme Marxisme

Mereka juga meyakini Islam sebagai agama sempurna semenjak dari lahirnya, tidak akan berubah hingga akhir zaman, sebab wahyu merupakan kalam tuhan yang abadi seperti tuhan itu sendiri. Wahyu dan kenabian menjadi pemilik absolut kebenaran, maka tidak ada kebenaran dan keselamatan di luar keduanya.

Dengan cara berpikir  dan keyakinan di atas, sifat otoritarian akan berdampingan dengan karakter totalitarian, Islam pun terkurung dan dibatasi oleh teks-teks harfiah, susah mencerna kemajuan dan peradaban, serta tidak akan pernah ada pemikir muslim yang bisa melampaui wahyu sebagai sumber kitab suci agar mendarah daging dalam kenyataan, meski kaum liberal sudah berusaha melenturkan kekakuan dan menyesuaikannya dalam iklim dan kondisi kebudayaan manusia.

Tesis yang pernah penulis nyatakan dalam buku Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian, dan Tragedi Incest Adam dan Hawa & Nabi Kriminal, menyebutkan bahwa Islam sebagai agama yang menopangkan sumber ajarannya yang tertinggi pada wahyu, sebenarnya berpotensi memiliki benih-benih kekacauan psikologis yang sangat dalam. Sebab, wahyu itu sendiri memiliki asal-usulnya dalam delusi dan halusinasi.

Delusi dan halusinasi merupakan kekuatan alam bawah sadar yang bersifat subeversif dan laten, ia mampu memanipulasi kesadaran dan mengaburkan pikiran penganutnya dari kenyataan. Menendang kewarasan dan kesehatan mental, memusuhi pengetahuan dan akal-sehat, itulah ciri yang paling nampak dari delusi dan halusinasi.

Oleh karena itu, keduanya merupakan ancaman serius bagi kemanusiaan dan kebudayaan. Bagaimana menjelaskan hal tersebut secara sederhana dan singkat?

Merujuk pada buku saya yang berjudul; Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian, pewahyuan yang terjadi dalam kenabian Muhammad muncul melalui saluran-saluran alam bawah sadar yang patologis, semisal lewat delusi pengontrolan pikiran dan halusinasi suara lonceng, atau saluran kwasi-mimpi yang mengakibatkan Nabi tergoncang psikisnya, mengeluarkan keringat dingin, muka menghitam, dan terkapar seperti gejala ayan atau epilepsi.

Gejala-gejala patologis yang dirasakan Nabi saat pewahyuan di atas ternyata memiliki kesamaan dengan ciri-ciri psikis yang dialami oleh para penyair yang sedang mengalami kesurupan. Pengertian wahyu kenabian Islam sesuai dengan makna dasarnya dalam budaya Arab Primitif, yaitu sesuatu yang “tersembunyi dan tersamar,” di mana sumber dan cara-cara memperolehnya sangat berkaitan dengan budaya kesurupan yang misterius, aneh dan gaib.

Perlu dipahami, masyarakat Pra-Islam sudah mengenal pewahyuan sebagai fenomena merasuknya roh ke dalam jiwa manusia yang mengakibatkan orang yang mengalaminya menjadi kesurupan. Wahyu memiliki asal usulnya pada budaya Arab Primitif, yaitu dalam institusi perdukunan dan kesurupan.

Hal ini ternyata diakui oleh Al-Quran, dalam Surat Asysyu’ara; 192-194, “Dan Ruh Yang Terpercaya (Jibril) masuk ke dalam jiwamu membawakan wahyu untuk menjadikanmu sebagai pemberi peringatan.” 

Bukankah ayat ini menunjukkan ada roh yang merasuk dalam jiwa Nabi yang membawakan wahyu kepadanya? Dengan begitu, sebenarnya Al-Quran mengakui bahwa wahyu muncul melalui proses kesurupan, karena merasuknya ruh yang terpercaya ke dalam jiwa Nabi juga merupakan bagian dari fenomena budaya kesurupan sebagaimana telah didefinisikan antropologi primitif dan dikenal oleh masyarakat Pra-Islam.

Kesurupan dalam budaya primitif dianggap sebagai merasuknya roh-roh atau makhluk gaib dalam jiwa atau pikiran manusia. Di sini, orang-orang primitif belum bisa menyadari bahwa roh-roh dan makhluk gaib yang menyebabkan kesurupan itu sebenarnya invasi dinamika alam bawah sadar yang dapat menenggelamkan kesadaran kita. Invasi dinamika alam bawah sadar mengakibatkan orang tersebut tidak terkendali dan tidak lagi memiliki akal sehat karena kesadaran sebagai pengendali tubuh dan psikis sudah tenggelam.

Maka, yang menggerakkan jiwa orang kesurupan sebenarnya adalah dinamika alam bawah sadar yang cenderung abnormal dan centang perenang. Dan, hilangnya kendali kesadaran atas tubuh dan pikiran inilah yang disebut kegilaan.

Penulis memiliki tesis kalau proses pewahyuan itu sebenarnya fenomena kesurupan di mana invasi dinamika alam bawah sadar menggantikan ide tentang malaikat, tuhan dan makhluk gaib lainnya yang merasuk dalam jiwa orang yang mengalami pewahyuan.

Proyeksi ke dunia luar dan personalisasi atas kekuatan alam bawah sadar yang secara asing menguasai psikis pada saat kesurupan menghasilkan ide tentang tuhan, malaikat, iblis dan jin-jin. Mereka adalah person-person yang dicitrakan sesuai dengan kualitas kedirian dan kepribadian manusia. Tuhan dan makhluk-makhluk gaib di atas bermula dari kepribadian alam bawah sadar manusia yang ditinggikan.

Dinamika alam bawah sadar juga mampu menciptakan perasaan aneh, gaib, magis, misterius dan mistik serta menenggelamkan kesadaran sehingga kontrol atas psikis diambil alih oleh kepribadian-kepribadian yang ada dalam dinamika alam bawah sadar, salah satunya yaitu naluri kematian atau insting menghancurkan.

Dalam pikiran alam bawah sadar bersemayam sebuah naluri yang sangat halus dan laten tapi dapat mengelabuhi kesadaran, yaitu insting thanatos atau naluri kematian. Naluri ini berisi kekuatan merusak dan menghancurkan, bersifat membunuh dan menyakiti. Maka, apabila ada orang yang mengalami proses pewahyuan dalam bentuk mimpi dan bisikan auditorik, tentu naluri kematian yang berasal dari dinamika alam bawah sadar dapat bersembunyi dalam anggapan bahwa wahyu itu berasal dari tuhan.

Ciri khas dinamika alam bawah sadar yang mampu menyamarkan dan menyembunyikan diri di hadapan kesadaran menjadikan naluri kematian atau insting membunuh berkamuflase dalam sesuatu yang bersifat terang dan ilahiah. Dengan begitu jelaslah sudah, pewahyuan yang terjadi pada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri merupakan dorongan naluri kematian yang ada dalam diri Ibrahim itu sendiri yang bersembunyi dalam kedok wahyu dan perintah ilahi, dan hal ini tidak disadari oleh Ibrahim karena kesadarannya tenggelam dan termanipulasi.

Peristiwa Oedipus Complex yang bergerilya dalam alam bawah sadar beliau memicu naluri kematian atau agresifitas untuk menghukum objek kecemburuan Ibrahim, yaitu anaknya. Maka muncullah gambaran dalam mimpi, Ibrahim menyembelih Ismail (Ishaq), di mana ini merupakan perwujudan naluri kematian yang berhasil menerobos dalam penampakan mimpi, kemudian karena terkecoh oleh kesan ilahiah menjadikan Ibrahim tidak menyadari darimana asal-usul gambaran mimpi tersebut.

Pewahyuan dalam mimpi Nabi Ibrahim sebenarnya merupakan infiltrasi dari naluri agresif dan insting kematian beliau sendiri yang tidak disadari dan bersembunyi dalam kedok yang ilahiah. Ini yang disebut kesurupan tuhan, ide tentang tuhan yang delusif dan mematikan. Tuhan dikira membisiki dan memerintah untuk membunuh padahal bisikan itu berasal dari pikiran alam bawah sadarnya sendiri. Ide tentang wahyu tuhan menjadi selubung atau kedok bagi naluri membunuh dan insting kematian agar bisa dipuaskan tanpa disadari oleh yang mengalaminya.

Dan yang membuat Ibrahim mengurungkan tindakan untuk menyembelih anaknya sendiri adalah kembalinya kesadaran Ibrahim dari manipulasi naluri wahyu membunuh, dan bukannya pendapat kekanak-kanakan yang bercerita tentang kemunculan malaikat membawa domba sebagai ganti anak Ibrahim yang akan disembelih.

Analisa ini juga bisa digunakan untuk menjelaskan kenapa orang-orang bisa membunuh manusia lain karena merasa mendapat bisikan tuhan, yang sebenarnya itu merupakan infiltrasi dari naluri kematian yang bersembunyi dalam bisikan wahyu yang delusif, terkesan gaib, misterius dan ilahiah. Penulis menyebut fenomena ini sebagai kesurupan tuhan.

Akhir-akhir ini masyarakat dunia sedang dilanda bencana pembunuhan manusia yang disebabkan kesurupan ide tentang tuhan. Manusia-manusia yang begitu dirasuki oleh ide tentang tuhan, telah menebar teror dan pembantaian nyawa dengan perasaan bangga dan penuh iman.

Bagaimana bisa ide tentang tuhan sebegitu merusaknya dan menghancurkan tatanan kalau itu tidak lain adalah saluran tersembunyi dari agresifitas dan naluri kematian yang menyamarkan diri sebagai yang suci dan terberkati? Ide tentang tuhan telah menciptakan banyak kematian, sebuah peringatan keras bagi agama-agama untuk memperbarui kembali dasar-dasar dirinya di hadapan kenyataan manusia.

Orang-orang yang kesurupan oleh ide tentang tuhan merasa telah men-tauhidkan, mengesakan dan mensucikan tuhan dengan cara menebar jaring-jaring neraka pada mereka mereka yang dianggap murtad dan kafir. Tuhan butuh disembah dengan sesajen darah dan mayat manusia.

Alangkah barbar dan primitifnya ide tentang tuhan tersebut, padahal kalau kita teliti dengan seksama sebenarnya mereka ini sedang menyembah berhala, yaitu dorongan nafsu membunuh dari jiwa bawahnya yang berkedok dan bertopeng ilahiah. Tuhan yang haus darah, pemarah dan pendendam merefleksikan jiwa yang meyakini ide tersebut sebagai seorang psikopat dan pembunuh.

Simpulan dari penulis, pewahyuan yang selama ini dianggap sebagai bisikan dan penampakan tuhan tidak lain adalah manifestasi dari delusi dan halusinasi yang bersumber dalam dinamika alam bawah sadar yang abnormal dan patologis. Proses pewahyuan ini dalam budaya primitif disebut kesurupan.

Ide tentang keyakinan wahyu tuhan tadi dapat menenggelamkan kesadaran, memandulkan akal sehat dan membunuh kewarasan, oleh karena itu menjadi ancaman bagi kemanusiaan, kebudayaan dan peradaban.

Semoga kaum beriman menyadari bahwa wahyu yang kita anggap suci, ilahiah dan terang ternyata merupakan manifestasi dinamika alam bawah sadar yang delusif, halusinatif dan mengandung naluri membunuh. Sebuah ideologi kematian yang otoritarian dan totaliter. (*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar