Ilustrasi: Kondisi di lapangan usai pengeboman di Surabaya kemarin.
TABAYUNA.com - Pola penyebaran aksi terorisme di Indonesia kini sudah merambah kepada anak-anak, perempuan, dan harusnya mereka dari bebas dari kejahatan laten itu.

Baca: DPR Tak Selesaikan RUU Terorisme, Fadli Zon Malah Marah-marah
Baca: Dikira Teroris, Santri di Simpanglima Semarang Berakhir Selfie dengan Brimob
Baca: Polisi Tangkap Dua Wanita Bercadar yang Mau Nusuk Polisi, 1 Asal Gemawang, 1 Asal Ciamis


Aksi terorisme kembali menyerang Tanah Air. Belum selesai investigasi kasus kerusuhan di rumah tahanan (rutan) Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, aksi bom bunuh diri terjadi di tiga gereja di Surabaya, Minggu (13/5/2018).

Ledakan bom di tiga gereja tersebut menewaskan 18 orang. Tidak hanya itu, pada Senin (14/5/2018) pagi juga terjadi ledakan bom di Mapolrestabes Surabaya, menewaskan empat terduga pelaku. Namun, yang disoroti adalah dalam dua kasus ledakan bom di Surabaya terssbut adalah para pelaku merupakan satu keluarga.

Pelibatan Anak-anak
Tak hanya itu, anak-anak juga dilibatkan dalam aksi terorisme. Dalam kasus yang terjadi di tiga gereja di Surabaya, para pelaku adalah satu keluarga, dikepalai Dita Oepriarto (47). Istri Dita, Puji Kuswanti (43) juga turut menjadi pelaku, termasuk anak-anak mereka, Yusuf Fadhil (18), Firman Halim (16), Fadhila Sari (12), dan Famela Rizqita (9).

Di berbagai media massa, bom ditempelkan pada tubuh anak-anak Dita dan Puji yang masih kecil untuk kemudian diledakkn. Sementara itu, anak-anak laki-laki membawa bom dengan cara dipangku dan mengendarai sepeda motor.

Hal serupa juga terjadi pada peledakan bom di Mapolrestabes Surabaya. Empat terduga pelaku tewas di tempat, namun seorang anak berinisial Ais (8) yang dibonceng pelaku di sepeda motor selamat, meski terluka. Pola baru terorisme ini dikecam banyak pihak.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto juga menyoroti pola baru tersebut. KPAI mengecam dilibatkannya anak-anak dalam aksi terorisme.

"Kami mengecam keras penyerangan bom yang tidak beperikemanusiaan. Apalagi anak dilibatkan," kata Susanto.

Berkaca dari kasus-kasus teranyar itu, Susanto menyebut perlu diperhatikan potensi indoktrinasi radikalisme kepada anak. Namun, ini akan sulit dicegah bila pelaku indoktrinasi adalah orangtua sang anak sendiri.

Risiko indoktrinasi radikaliske lebih mudah dibatasi dan dicegah bila pelaku adalah pihak lain yang bukan orangtua. Susanto menyatakan, sangat berbahaya apabila ideologi radikalisme masuk ke ruang-ruang keluarga.

Sementara itu Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa'adi menyatakan aksi teror tidak dibenarkan, lantaran bertentangan dengan ajaran agama dan Pancasila. Apalagi, pelaku bom bunuh diri adalah satu keluarga dan melibatkan anak-anak.

Setelah Ledakan Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo menyatakan hal serupa. Menurut Suharyo, tindakan bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga dan melibatkan anak-anak ini mengoyak kemanusiaan.

Baca: Penguatan Lembaga Keagamaan Bisa Bentengi Terorisme
Baca: PBNU Kecam Tiga Bom Gereja di Surabaya, Ini Isinya

Baca: Sinta Nuriyah Istri Gus Dur Kutuk Aksi Terorisme di Surabaya

"Sangat mengerikan dilakukan satu keluarga. Kemanusiaan itu mau dibawa ke mana?" sebut Suharyo.

Nassir Abbas, mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) sekaligus pengamat terorisme mengungkapkan, kala ia masih tergabung dalam kelompok teroris, tidak dibenarkan bunuh diri karena dianggap dosa besar. Namun, doktrin yang ada saat ini berubah.

Baca: Waspada, Majalah As Syariah Milik Salafi Wahabi Meneror Warga Temanggung

"Belakangan doktrin bunuh diri menyebar, bahkan sampai tega mengajak anak-anaknya ikut bunuh diri. (Menurut keyakinan mereka) masak bapak sendiri masuk surga, anak-anak tidak diajak masuk surga?" ucap Nassir seperti dilansir dari Kompas.com oleh redaksi Tabayuna.com, Rabu (16/5/2018).

Pihaknya menuturkan, sejak beberapa waktu terakhir, dirinya tergabung dalam sebuah yayasan yang menangani dan berinteraksi dengan istri-istri napi terorisme. Banyak di antara mereka yang menghadapi stigma, tak hanya dari masyarakat atau tetangga, bahkan dari keluarga sendiri.

"Ini barangkali si pelaku bawa anak-anak dan istri supaya tidak kena stigma. (Keyakinan mereka adalah) biar masuk surga bersama-sama," ujar dia.

Kita tak boleh diam. Anak-anak, istri, saudara kita harus lindungi dan jauhkan dari bahaya laten terorisme. Sebab, mereka sekarang menyasar pola baru, dengan melibatkan anak-anak dan perempuan dalam aksi terorisme, khususnya dalam bom bunuh diri. (tb55).

Baca: Perempuan Bercadar yang Akan Tusuk Polisi di Mako Brimop Dulu Anggota UKDM UPI
Baca: Inilah 109 Media Salafi - Wahabi Asli yang Harus Diwaspadai 
Bagikan :

Tambahkan Komentar