Sampul buku Palestina dari Zaman Kezaman. (foto: Istimewa)
TABAYUNA.com - Saifoeddin Zoehri, menulis buku "Palestina dari Zaman Kezaman" bersampul cokelat, salah satunya yang dikoleksi Perpustakaan Masjid Syuhada' Daerah Istimewa Yogyakarta, yang diterbitkan PB. Nahdlatoel Oelama bagian Penerbitan - Penjiaran.



Buku itu merupakan karya KH. Saifuddin Zuhri yang terbit pada 1947. Artinya, buku itu, isinya adalah perjuangan mujadihin NU di Palestina sebelum 1947. Bukti kecintaan itulah yang mendorong Kiai Saifuddin menulis di buku yang meskipun akhirnya buku itu tidak beredar sampai sekarang.

Cara yang dilakukan NU dari dulu terbukti santun, elegan, dan strategis. Untuk membela Palestina, tak perlu demo, apalagi koar-koar di Facebook seolah-olah sudah paling jos membela Palestina. Duh, itu sih seperti orang cari muka saja.

Dalam buku, ada foto KH. Hasjim Asj'ari (1875-1947) menulis "Nahdlatoel Oelama" ulama jang mula2 mengandjurkan Qunut Nazilah untuk mudjahidin di Palestina". Ini artinya, pejuang dari Indonesia terutama NU peduli terhadap Palestina sejak dulu.

Tertuang juga foto KH. Abdoel Wahab, pemuka Nahdlatoel Oelama jang hampir pada tiap-tiap kesempatan mengandjurkan bantuan kepada kaum muslimin di Palestina.

Jika NU dikatakan tidak peduli Palestina, itu ngawur bin bahlul. Kita bisa membandingkan dengan FPI yang berdiri pada 17 Agustus 1998 yang didirikan Muhammad Rizieq Shihab atau Habib Rizieq, atau Hizbut Tahrir atau di Indonesia HTI yang didirikan Syekh Taqiyuddin An Nabhani yang didirikan 1953.

FPI dan almarhum HTI selalu mengklaim paling peduli Palestina, padahal mereka masih kanak-kanak yang berdirinya saja duluan buku Palestina dari Zaman ke Zaman tahun 1947 yang ditulis Prof. K.H. Saifuddin Zuhri tokoh NU.

Saifuddin Zuhri, merupakan tokoh Nu yang lahir di kota kawedanan Sokaraja, 9 kilometer dari Banyumas, 1 Oktober 1919. Beliau, meninggal 25 Maret 1986 pada umur 66 tahun) adalah Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Kerja III, Kabinet Kerja IV, Kabinet Dwikora I, Kabinet Dwikora II, dan Kabinet Ampera I.

Pada usia 35 tahun K.H. Saifuddin Zuhri menjabat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merangkap Pemimpin Redaksi Harian Duta Masyarakat dan anggota Parlemen Sementara. Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI pada usia 39 tahun, lalu mengangkatnya menjadi Menteri Agama ketika berusia 43 tahun.

Selain karya buku Palestina dari Zaman ke Zaman (1947), ia juga menulis buku Agama Unsur Mutlak dalam National Building (1965),  K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Bapak Pendiri NU (1972), lalu buku Guruku Orang-orang dari Pesantren (1974), Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia  (1979), Kaleidoskop Politik Indonesia (tiga jilid) (1981), Unsur Politik dalam Dakwah (1982), Secercah Dakwah (1983), dan buku Berangkat dari Pesantren karyanya yang rampung menjelang akhir hayat kurun sebelum 1986.
Salah satu bagian dari buku Palestina dari Zaman ke Zaman

NU Peduli Palestina
Sudah terbukti, mana yang lebih dulu peduli Palestina, bukan ormas yang main klaim saja padahal lahirnya duluan NU. Karena, NU lahir pada 31 Januari 1926 jauh sebelum Indonesia lahir.

Sebelumnya, NU Online pernah mengulas buku Palestina dari Zaman ke Zaman ini lewat judul "Kiai Saifuddin Zuhri dan Palestina" yang tayang pada Sabtu, 09 Desember 2017.

Dalam ulasan itu, dijelaskan bahwa bentuk kecintaan Kiai Saifudin dengan Palestina dituangkan dalam bentuk buku yang berjudul Palestina dari Zaman ke Zaman. Buku ini berisi tentang perjuangan rakyat Palestina dalam upaya mencapai kemerdekaan dan kegigihannya dalam melawan pasukan Zionis. Dengan buku tersebut, Kiai Saifuddin ingin menggugah solidaritas para pembacanya akan perjuangan bangsa Palestina.

Penulisan buku tersebut, berawal dari kunjungan Mohammad Abdul Mun'im selaku Konsul Jendral Mesir untuk India ke Solo, pada Maret 1947. Kedatangannya guna menyampaikan kabar dari Liga Arab kepada Presiden Soekarno. Pesan tersebut, berupa pengakuan negara-negara Arab, seperti Palestina dan Mesir atas kemerdekaan bangsa Indonesia. Tentu saja, pengakuan bangsa Arab tersebut, merupakan kabar gembira bagi kemerdekaan Indonesia yang memang membutuhkan pengakuan dunia Internasional sebagai prasyaratnya. 

Keberanian Mohammad Abdul Mun'im tersebut, menginspirasi Kiai Saifuddin untuk membalas kebaikan bangsa Arab. Salah satu upaya untuk membalas kebaikan itu, adalah dengan menuliskan buku tentang perjuangan salah satu bangsa Arab yang juga masih berada dalam kungkungan penjajahan, yakni Palestina.

Di tengah berkecamuknya Agresi Militer Belanda itu, Kiai Saifuddin tekun mempelajari sejarah perjuangan bangsa Arab. "Aku mulai mempelajari lebih tekun tentang perjuangan bangsa-bangsa Arab menghadapi kaum imperialisme Inggris dan Prancis, juga tentang cita-cita Palestina merdeka menghadapi kaum Zionisme," tulis Kiai Saifuddin dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren.

Saat itu, Kiai Saifuddin bukanlah seorang yang hidup tenang di bilik-bilik perpustakaan untuk menyelesaikan proses penulisan bukunya itu. Ia adalah seorang pimpinan Partai Masyumi sekaligus seorang komandan Hizbullah. Dimana ia memiliki tanggung jawab untuk berkeliling di daerah-daerah di seputar Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk memberikan komando sekaligus menyampaikan informasi-informasi penting kebijakan partai maupun kebijakan Nahdlatul Ulama. Lebih-lebih saat itu, Kiai Saifuddin juga diminta menjadi salah satu pejabat di Kementerian Agama oleh KH Masjkur yang saat itu menjabat menjadi menteri. 

Kesibukan yang demikian penat serta ancaman dan tekanan dari pihak penjajah yang bisa mengancam nyawa kapanpun, Kiai Saifuddin berhasil menyelesaikan bukunya tersebut. Sekitar Desember, 1947, ia berhasil menyelesaikan naskah buku Palestina dari Zaman ke Zaman tersebut.

Buku itu, terdiri dari 84 halaman. Diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang saat itu, telah berpindah kantor dari Surabaya ke Pasuruan karena desakan Belanda. Percetakannya sendiri adalah "Persatuan" dari Yogyakarta, atas sponsor dari Pemimpin Perpustakaan Islam di Yogyakarta, Haji Abubakar.

Sedangakan kata pengantar buku tersebut, ditulis oleh Ismail Banda, MA. Ia adalah seorang diplomat muda yang menjadi duta besar Indonesia untuk Afganistan. Ia juga seorang mantan pemimpin pergerakan mahasiswa Indonesia di Cairo, Mesir.

Dalam buku itu, Kiai Saifuddin menguraikan sejarah panjang Palestina yang telah terbentang jauh sejak 13 Abad lamanya. Dimulai dari masa kekhalifahan Umar bin Khattab, kemudian masa perang Salib, hingga pada akhir perang dunia pertama. Dimana Turki yang mengusai Palestina takluk kepada Inggris dan menyerahkannya ke negara Ratu Elizabeth tersebut.

Di bawah kekuasaan Inggris itulah, Palestina mulai dihuni oleh sekolompok orang Yahudi yang tergabung dalam gerakan Zionisme. Dalam sebuah pengumuman yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Sir Arthur James Balfour pada 2 Nopember 1917, dimulailah praktik Zionisme di Palestina. Sebuah negara nasional Yahudi (Jewish National State) dinyatakan berdiri. Dikemudian hari, pengumuman tersebut, dikenal sebagai Balfour Declaration.

Dalam buku tersebut, juga ditulis respon bangsa Indonesia terhadap Zionisme di Palestina. Seperti halnya respon NU dengan pekan rajabiyah-nya. Dimana NU mengutuk keras penguasaan Palestina oleh Zionis Yahudi. 

Namun, buku yang ditulis penuh ketegangan itu, berakhir dengan nestapa. Buku itu tak sempat beredar. Sebelum tahap akhir di percetakan selesai, Agresi Militer Belanda pada 19 Desember 1948 yang meluluhlantakkan Yogyakarta, turut menghancurkan buku yang hampir selesai itu. 

Sampai saat ini, buku tersebut, tak lagi ada. Hanya berupa ikhtisar yang kembali ditulis oleh Kiai Saifuddin dalam buku Berangkat dari Pesantren. Itu pun ikhtisar yang tak seberapa banyak. Meski demikian, ada satu kutipan hadist yang ditulis oleh Kiai Saifuddin dalam buku tersebut, yang amat berkesan. Hadist yang memang harus dipegang teguh oleh umat Islam dimanapun dalam konteks membela kebenaran, seperti halnya kebenaran rakyat Arab atas tanah airnya, Palestina.

Apakah hanya itu? Tentu tidak. Sampai detik ini, NU lewat Katib Aam Nahdlatul Ulama (NU) KH Yahya Cholil Staquf melakukan kunjungan ke Israel. Tidak didukung, eh malah diserang dengan cacian, makian, dan berita hoax menyebar ke mana-mana. 

Tak cukup KH Yahya Cholil Staquf, pada Jumat (22/6/2018), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melakukan dengan Kedubes Palestina di Kantor Kedubes Palestina yang mengkaji banyak hal-hal strategis. PBNU datang berjamaah untuk menindaklanjuti kemerdekaan Palestina. Apakah ini bukti NU tidak peduli Palestina? Ente bangun tidur kali...

Mulai sekarang, jika ada orang mengatakan NU tidak peduli Palestina, anggap saja mereka ngelindur. Jika ngeyel, anggap saja bahlul. Jika tetap ngeyel, anggap saja orang gila. Duh!
Bagikan :

Tambahkan Komentar