Oleh KH. Muhammad Husein

(Ini sebagian kecil dari yang aku sampaikan kemarin, 22.07.18, di forum PPWK (Pendidikan dan Pengembangan Wawasan Keulamaan)-LAKPESDAM NU. Tulisan ini dibagi 3 episode, agar tidak lelah membacanya. Semoga bermanfaat).

Perspektif Ahl Al Hadits

Dalam Kitab Kuning yang beredar luas di pesantren, dalam aspek Fiqh, nampak bahwa pola dasarnya menggunakan pola pemikiran atau perspektif Ahl al Hadîts dan bukannya ahl al-Ra’y. Pola pemikiran pertama dimaksudkan sebagai cara dan kecenderungan dalam mengkaji dan menyelesaikan suatu persoalan dengan lebih memperhatikan aspek lahiriyah dan riwayat dari semua teks. Atau dari siapa pengetahuan itu berasal. Dasar perpektif ini adalah :

الإسناد من الدين فاولاه لقال من شاء ما شاء

“Sanad/transmisi adalah bagian dari agama. Jika tidak niscaya siapapun bisa bicara apapun". Jadi nara sumber berita menurut pendekatan ini menjadi prinsip penting untuk menilai benar atau salah, sah atau tidaknya sebuah berita. Ini dipandang merupakan bagian dari agama. Sementara itu, aspek rasional (manâth al amr) —sebagaimana menjadi kecenderungan pola kedua (ahl ar-Ra’y)— kurang banyak dibicarakan. Oleh karena itu, kritik atas teks (nashsh atau atau dalam bahasa pesantren disebut ‘ibârah, seakan-akan kurang penting atau ditabukan). Lebih dari itu, upaya-upaya mempertimbangkan aspek rasionalitas, masuk akal atau tidaknya sebuah pernyataan/teks, serta analisis pada aspek sosiologis atas teks dalam Kitab Kuning hampir sulit ditemukan. Pertimbangan sosiologis dimaksudkan sebagai kajian latar balakang sosial budaya ihwal mengapa dan bagaimana suatu teks lahir sebagaimana termaktub dalam kitab, tidak menjadi penting. Pafahal persolan ini sesungguhnya menjadi signifikan ketika kita bermaksud mengembangkan pemikiran atas teks untuk konteks atau situasi yang berbeda.

Kita akan segera dapat memahami kenyataan di atas melalui pelacakan atas jalur pemikiran sampai pada sumber Kitab Kuning yang mengambil pola di atas. Dalam kajian fiqih sebagai bidang diminati dan dominan di pesantren, misalnya, sumber utamanya adalah mazhab Syafi’i. Sebagaimana diketahui, dalam bingkai mazhab empat, pemikiran Imam Syafi’i acap dipandang moderat. Dalam perjalannya, mazhab ini terbagi menjadi dua atau tiga aliran (thariqah): aliran Iraqi (iraqyyun), aliran Khurasani (khurasâniyyûn), dan gabungan keduanya. Dalam aliran pertama, kecenderungan memegangi prinsip ahl al-hadits lebih kuat daripada aspek rasionalitas (ra’y). Sementara, dalam aliran kedua, berlaku hal sebaliknya. Aspek rasionalitasnya lebih kuat dari aspek sanadnya. Imam aliran Iraq adalah Abu Hamid al-Isfaraynî (w.406 H), dan Imam aliran Khurasan adalah al-Qaffâl al-Marwazî atau sering disebut al-Qaffal al-Shaghir, (327-417 H). (Lihat : Syajarah Madzhab al-Syafi’i).

Selanjutnya, bila kita melihat keberadaan Kitab Kuning di pesantren, pemikiran-pemikiran yang ada di dalamnya ternyata lebih banyak mengambil jalur Imam an-Nawâwî (631-676 H) dari pada imam ar-Râfi’i(w.623 h). Kedua imam ini adalah pengikut Mazhab Syafi’i yang memperoleh “rekomendasi” dari pada pengikut Imam Syafi’i mutakhir sebagai orang-orang yang memiliki otoritas dalam menyeleksi pikiran-pikiran Imam Syafi’i maupun murid-muridnya. Sebuah catatan penting dikemukakan oleh Fath al-Mu’în : “Ketahuilah yang menjadi pedoman (mu’tamad) dalam pengabilan keputusan hukum dan fatwa ialah pendapat yang disepakati oleh asy-Syaikhân (Imam an-Nawâwî dan Imam ar-Râfi’î). Kemudian, jika keduannya berbeda pendapat, maka yang didahulukan adalah Imam an-Nawâwî, kemudian Imam ar-Rafi’î, kemudian pendapat mayoritas, kemudian pendapat yang terpandai, dan akhirnya yang paing warâ’ (marwah/kehormatan diri)’’. Pertanyaan penting untuk persolan di atas adalah : mengapa imam an-Nawâwî lebih diprioritaskan dari pada Imam ar-Râfi’î?.

Beberapa pendekatan mungkin dapat menjawab pertanyaan ini. Sebagai seorang yang “tidak terikat mazhab” (muharrir al- madzhab), Imam an-Nawâwî adalah juga seorang ahli fiqih (al-faqîh ) sekaligus juga ahli hadis (al-muhaddits). Keadaan ini menjelaskan bahwa kapasitas imam an-Nawâwî dalam hadist lebih menonjol daripada imam Rafi’i. Imam an-Nawâwî banyak menulis kitab hadist semisal Riyad Ash-shâlihin, al-Arba’în, al-Minhaj fi Syarh Muslim, dan al-Adzkâr. Pengamatan atas kitab al-Majmu’ - sebuah buku komentar atas kitab al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq asy-Syirazi (w.476 h) –membuktikan bahwa imam an-Nawâwî selalu menghubungkan fiqihnya dengan dasar-dasar hadist . Keadaan ini berbeda pada diri imam ar-Rafi’i. Ia memang seorang ahli fiqih (al-faqîh). Kapasitasnya sebagai seorang ahli hadist (al-muhadits) tidak tampak menonjol. Hanya ada sebuah karya Imam ar-Rafi’i yang disebutkan sebagai kitab Hadist, yakni Musnad as-Syafi’i . Selain itu, ada perbedan penting dalam latar belakang sosial kehidupan dua tokoh besar ini. Imam an-Nawâwî lahir di Nawâ, sebuah desa kecil di wilayah Hauran. Pada usia 19 tahun, ia pindah ke Demaskus. Sementara itu, Imam ar-Rafii lahir dan di besarkan di Qazwayn, sebuah kota di wilayah Iran. Ada dugaan (dzhann) kuat bahwa pemikiran di Iran lebih rasional dibandingkan dengan yang berkembang di Damaskus. Ini berarti bahwa kecenderungan-kecenderungan berpikir rasional lebih terasa menonjol di Iran. Sementara itu, di Damaskus, yang lebih berkembang adalah kajian hadis.

Dukungan atas pola pemikiran ahl al-hadîts dalam Kitab Kuning di pesantren dengan imam an-Nawâwî sebagai acuannya juga terlihat dari jumlah Kitab Kuning yang ditulis oleh murid-murid an-Nawâwî. Sebagai contoh dapat dikemukakan dua kitab berikut ini, yakni Tanqih Tahrir al-Lubab dan Fath al-Wahhab. Kedua kitab ini adalah karya syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari (826-926 H) murid Ibn Hajar al-Asqallani, seorang ahli hadits. Contoh lainnya adalah Tuhfah al-Muhtaj dan Fatawâ Hadîtsiyyah, karya Ibn Hajar al-Haytami (909 – 973 H), murid Zakariya al-Anshari. Dalam sejarah pemikiran ke islaman klasik, semua tokoh ini dikenal dengan ahl al-hadits (muhaddits). Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari menulis kitab : Tuhfah al-Bari ‘ala Shahih al-Bukhari.

Cirebon, 24.07.18
HM
Bagikan :

Tambahkan Komentar