Perkembangan lebih lanjut dari pola pemikiran di atas adalah terbentuknya sistem keilmuan bercorak penukilan atau transmisi (naqli) sebagai karakteristik dari tradisi ahl al-hadits. Cara ini juga diberlakukan dalam bidang lain. Bagi sistem pendidikan yang menganut aliran ini, termasuk pesantren, keilmuan hanya dapat dipandang sah dan kukuh bila dilakukan melalui transmisi, sanad, atau silsilah guru dan “hafalan”. Lebih jauh, parameter kealiman seseorang seringkali dinilai berdasarkan kemampuannya dalam menghafal teks-teks.

Kecenderungan tersebut juga mendapat argumen dari para ulama, sebagaimana dikemukakan dalam Ta’lîm al-Muta’allim fî Tharîq at-Ta’allum, sebuah kitab rujukan ulama pesantren tentang tata cara belajar, karya Burhan al-Islam az-Zarnuji (w.602 H/1223 M). Ia mengatakan :
العلم ما يؤخذ من أفواه الرجال لأنهم يحفظون احسن ما يقولون ويقولون احسن ما يحفظون
(al-‘ilm ma yu’khadzu min afwah ar-rijal li-annahum yahfazhûna ahsana ma yaqûlûna wa yaqûlûna ahsana mâ yahfazhûna) .

“ilmu adalah sesuatu yang diambil dari mulut ulama, guru, atau kiyai, karena mereka menghafal apa yang terbaik dari apa yang mereka dengar dan menyampaikan apa yang terbaik dari apa yang mereka hafal”.

Itulah sebabnya hafalan menjadi bagian penting dari tradisi pesantren. Dalam praktiknya, cara ini tampaknya diberlakukan bagi semua tingkat pendidikan sejak tingkat taman kanak-kanak (raudhâh al-athfâl), tingkat dasar (ibtidâ’iyyah) tingkat menengah (Tsanawiyyah), hingga tingkat atas (‘Aliyyah). Diakui bahwa sebetulnya mendidik dengan cara seperti ini sangat baik sebagai basis dalam menguasai materi secara otentik dan akurat. 

Namun, dalam kenyataanya, sangat disayangkan bahwa praktik hafalan di pesantren terkadang hampir menafikan aspek-aspek pemahaman kognitif-rasional dan pengembangan wawasan –sekurang-kurangnya –mereduksi aspek-aspek pemikiran yang terkandung didalamnya. Karena itu, jelas diperlukan adanya perimbangan (balancing) antara aspek afektif (hafalan) dan kognitif (pemahaman rasional) dalam proses pengajaran Kitab Kuning.

Akan tetapi perlu segera disampaikan bahwa kedua perspektif di atas sesungguhnya sama-sama menggunakan dasar hadits dan memperhatikan aspek konten. Perbedaannya hanya dalam soal kapasitas (kammiyyah), prioritas (awwaliyaat) dan intensitas penggunaannya.

Jika kita membaca pandangan Mazhab empat yang terkemuka : Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali, maka akan ditemukan kecenderungan yang berbeda. Banyak orang/ulama membuat katagorisasi kecenderungan: Abu Hanifah disebutnya sebagai Imam Ahli Ra'yi (Rasionalis). Malik bin Anas: Imam al-Muhafizhin (tradisionalis), Al-Syafi'i ; Imam ahlil al-Adl wa al-Wasat (moderat) dan Ahmad bin Hambal sebagai Imam al-Mutasyadidin (tektualis ketat).

Semua imam Mazhab ini pasti tidak lepas dari menggunakan Naql (Al-Qur'an dan Hadits) dan Aql, atau teks dan rasio, tetapi dengan pertimbangan tekanan yang berbeda. Ada banyak faktor mengapa begitu


Baca: Kontekstualisasi Kitab Kuning (Bagian 1)

Bagikan :

Tambahkan Komentar