Oleh: Nur Kholik Ridwan

Gus Dur berkata:“Atas dasar cara berpikir beginilah diikuti kaidah fiqh (legal maxim) yang berbunyi: “Mâ Lâ Yudroku Kulluhu Lâ Yutroku Kulluhu”, yang berarti apa yang tidak mungkin terwujud seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan yang terpenting di dalamnya.” (Gus Dur, “Pengantar” dalam Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila (Yogyakarta: LKiS, 2010).




Perkataan ini adalah kaidah fiqh yang diambil dari hadits Nabi Muhammad shollallohu `alaihi wasallam, yang berbunyi: “Mâ nahaitukum `anhu fajtanibuhu wa ma amartukum bihi faf`alu minhu mastatho’tum, fa’innama ahlakal ladzîna min qoblikum katsrotu masâ’ilihim wa ikhtilafihim `alâ anbiyâ’ahim”. Hadits ini melalui jalan Abu Hurairah, dan redaksi diatas sebagaimana disebutkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi, dalam kitab al-Jâmi al-Kabîr atau Jam`ul Jawâmi, No. 1221/19717, jilid VIII: 167 (versi al-Azhar asy-Syarif, tahun 1426/2005).

Redaksi hadits di atas dalam riwayat Imam al-Bukhori menggunakan kata: “Fa’idzâ nahaitukum `an sya’in fajtanibûhu wa idzâ amartukum fa’tû minhu mastatho’tum (dalam kitab al-I’tshôm bilkitab was Sunnah, hadits No. 7288).

Arti hadits di atas sebagai berikut: “Apa-apa yang saya cegah darimu maka jauhilah, dan apa-apa yang saya perintahkan, maka lakukanlah semampumu, sesungguhnya yang membinasakan manusia sebelum kamu adalah banyak pertanyaan (yang tidak berguna) dan perselisihannya kepada Nabi mereka.” Dalam riwayat Imam Muslim, hadits ini ada di kitab al-Fadhô’il (hadis No. 130); dan dalam kitab Shahih al-Muslim secara keseluruhan, ada pada hadits No. 1337. Sedangkan dalam versi syarah Imam Muslim dari Ali al-Muttaqi, ada pada juz X: 507, kitab Takmilatu Fathil Mulhim, hadits ini diberi No. 6066.

Kaidah yang dikutip Gus Dur di atas, maknanya demikian: “Sesuatu yang tidak bisa ditemukan/dihasilkan (maksudnya secara keseluruhan), janganlah atau tidak boleh ditinggalkan seluruhanya (yang terpenting di dalamnya).” Kaidah ini dirumuskan berdasarkan pengertian hadits di atas pada bagian “wa mâ amartukum bihi faf`alû minhu mastatho’tum.”

Dari hadits ini, dapat diambil pengertian “semampu kalian” dalam hal menjalankan perintah yang tidak mungkin dapat dicapai secara keseluruhan. Imam Nawawi dalam syarah Muslim soal hadits ini, menyebutkan bahwa ini termasuk kaidah-kaidah dalam agama Islam dan termasuk jawamiul kalim. Maksudnya, penyebutan kalimat yang mencakup dan bermakna dalam, dimana Nabi Muhamamd shollallohu alaihi wasallam memberikan sabdanya itu untuk bisa diambil pengertian, dan masuk di dalamnya banyak hukum yang tidak bisa dihitung.

Menurut Ibnu Hajar al-Asqolani, makna mastatho’tum berarti: “If`alû qodro istithô`atikum” (Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Bârî, Juz XIII: 262). Perintah-perintah yang diberikan Nabi Muhammad baik dari Al-Qur’an atau dari Sunnah, kemudian difahami menurut kesanggupan dan kemampuan yang menjalankan, setelah diupayakan secara sungguh-sungguh.

Gus Dur mengutip kaidah di atas, salah satunya untuk menjelaskan soal penerimaan terhadap eksistensi negara Republik Indonesia dengan dasar Pancasila ini. Negara Pancasila itu, di dalam penjelasan Gus Dur, merupakan tipe dari “darush shuluh” (Negara damai/aman), selain ada tipe “Darul Islam” dan “Darul Harb”. Negara Indonesia ini dihasilkkan dari serangkaian usaha, yang kulminasinya para ulama berkesimpulan, lebih baik  menyetujui dan mengambil jalan memilih “Darus Shuluh” ini.

Dengan menggunakan kaidah di atas, tuntutan yang maksimal, katakanlah disebut Negara dengan dasar syariat atau dengan istilah apapun, telah dilewati melalui segala upaya jihad fisik masa penjajahan, damai, dan musyawarah di masa kemerdekaan, telah dijalankan, tetapi bentuk akhirnya yang disepakati adalah Negara Indonesia. Sehingga Gus Dur menyebutkan: “Secara keseluruhan tentu wujud formal Negara Islam yang semula diharapkan, tetapi dengan lahirnya Republik Indonesia, harus diterima yang terpenting di dalamnya, yaitu adanya negara yang memungkinkan kaum muslimin melaksanakan ajaran agama mereka secara nyata” (Gus Dur (Sekadar Mendahului, hlm. 211).

Dari sini dapat diambil pengertian, bahwa keluasan cakupan dari kaidah tersebut dapat diterapkan di berbagai hal, dan itu ranahnya adalah ijtihadi. Bisa jadi, orang lain atau kelompok lain tidak setuju dengan cara pemahaman yang diambil dari hadits di atas, sehingga menginginkan mengambil secara keseluruhan untuk memenuhi tuntutannya, atau meninggalkan secara keseluruhan ketika tuntutan maksimalnya tidak tercapai. Itu diserahkan kepada mereka sendiri.

Bagi kaum Sunni, terutama yang dianut Gus Dur dan Nahdltaul Ulama, hal itu tentu diterapkan tidak secara sembarangan, sehingga harus dibarengi dengan “husnuniyah” dan upaya mencegah kemudratan yang lebih besar bila ditinggalkan secara keseluruhan, ketika yang paling maksimal tidak tercapai, karena ada tuntutan “`alâ qodri isthitho`atikum”; dan setelah ada usaha-usaha dilakukan sebaik mungkin.

Persoalan mereka yang tidak senang dengan sikap sosial-politik-ekonomi yang diambil dengan dasar menerapkan kaidah “Mâ Lâ Yudroku Kulluhu Lâ Yutroku Kulluhu” , adalah hal yang lain, dan itu syah-syah saja, karena ranahnya ijtihadi. Wallohu  a’lam.

Bagikan :

Tambahkan Komentar