Oleh Ahmad Fauzi

Apa iya Islam ditakdirkan untuk membeku dalam sejarah? Merana di tepian peradaban. Meringkuk kesepian dalam kefanatikan dan menunduk malu di hadapan kemajuan. Bukankah Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari padanya? Tidak akan ada yang mampu melampaui kemajuan dan kedamaian bentuk masyarakat yang dibangun oleh Sang Nabi, meski sebenarnya pernah mengalami banyak peperangan pada masa itu.


Madinah Al Munawwaroh, Kota Ideal, contoh dan cahaya untuk segala peradaban. Prinsip-prinsip pluralisme dan toleransi diyakini lahir di kota ini hingga menurut para ahli, ide yang terlalu maju dan mendahului zamannya tersebut tidak mampu ditopang oleh institusi sosial setelah wafatnya Sang Nabi.

Kebenaran telah tuntas dan dimampatkan dalam sebuah kitab suci yang bernama Al Qur’an. Kebenaran abadi yang takkan pernah lapuk oleh asam karat sejarah. Yang paling mulia adalah zaman Nabi, kemudian masa para sahabat dan ulama yang mengikutinya, dan seterusnya hingga kini. Makin jauh manusia dari zaman Nabi merupakan kemunduran diri.

Era Kenabian adalah poros dan pusat gravitasi sejarah. Masa depan Islam cukup dengan melihat masa lalu Sang Nabi dan menirunya, karena beliau adalah pola teladan yang sempurna. Islam adalah agama paling rasional dan akan selalu sesuai dengan perkembangan zaman, kapan pun dan di mana pun. Agama terakhir yang akan menjadi penutup sejarah besar umat manusia.

Namun, dengan melihat kondisi Islam sekarang, apakah klaim di atas merupakan kenyataan ataukah sekedar mitos? Apa Islam tidak bisa keliru dan dikoreksi? Apakah  Islam itu selalu benar dan yang salah adalah penganutnya yang tidak mampu memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang sebenarnya? Kalau agama tidak mampu memengaruhi perbuatan umatnya, lalu di mana kebenaran agama tersebut? Atau apa ada yang salah dengan ajaran ini? Jangan-jangan agama ini sedang sakit dilanda semacam malaise dan digerogoti patologi berkepanjangan?

Agama petualang bersenjata ini pada mulanya memang berhasil meraih kuasa dunia. Atas nama ekspansi dan penaklukan, Sang Nabi dan para khalifah berhasil menunjukkan pada dunia bahwa Islam adalah agama para ksatria pedang. Perang demi peperangan selalu dimenangkan. Pedang terhunus pun menjadi simbol kejayaan.

Hampir sepertiga dunia ada dalam naungan panji syahadat ketuhanan dan kenabian. Gerakan yang berawal dari gurun tandus dan kering telah berubah menjadi peradaban tinggi yang menakjubkan bahkan menjadi penyambung nyawa warisan sejarah universal. Peradaban Persia, Mesir, Yunani, India dan Romawi diramu di bawah satu bendera, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

Islam memang pernah mengalami masa-masa keemasan, namun itu berbeda kondisinya di abad ini. Kemiskinan, kebodohan, kekerasan dan pembunuhan atas nama tuhan, penolakan terhadap modernitas, pengetahuan dan kebudayaan, penindasan harkat wanita, atau kebencian tak berdasar pada kaum Yahudi yang cukup menggelikan, telah membutakan nalar, akal-sehat dan kesadaran rasional.

Islam sedang digugat oleh kemanusiaan dan kebudayaan lalu dihadapkan pada mahkamah pengadilan sejarah. Kritik, koreksi, anomali dan tidak sedikit cercaan dan hujatan menghujani tubuh agama ini yang membawanya pada krisis dan kemunduran paling mendalam. Mau dan bisakah Islam mengoreksi dan memperbarui dirinya sendiri sehingga bangkit dari keterpurukan yang menyedihkan ini?

Bukannya menjawab pertanyaan di atas dengan prestasi budaya dan pengetahuan, yang ada malah siapa pun yang berani meragukan dan mengajukan pertanyaan di atas harus siap-siap disebut kafir-murtad dan halal darahnya. Tentara tuhan selalu siap membela agama, kitab suci dan nabinya dengan darah dan nyawa, tanpa mengenal belas kasihan meski dengan menyerang, menembak dan membunuh siapa pun yang dianggap menghina dan melecehkan Islam.

Menurut penulis, ada paradoks antara kejayaan Islam masa lalu dan kemundurannya di masa kini. Banyak pemuka Islam yang menghibur kemunduran agama ini di zaman modern dengan mengenangkan masa lalunya yang gemilang. Bahwa kemundurannya sekarang bukan karena Islam itu sendiri, tetapi penganutnya yang tidak berhasil menangkap pesan dan spirit Islam. Benarkah begitu? Ada suara yang berkata lain. Penulis berfikir bahwa kejayaan dan keemasan Islam masa lalu itu bukan karena impuls Al Quran dan Sunnah, melainkan ada faktor utama lain yang menyebabkannya.  Bagaimanakah menjelaskan hal ini?

Banyak ilmuwan, filsuf dan ahli pengetahuan lainnya lahir di atas tanah yang telah dikuasai oleh bendera Islam. Namun, kebanyakan para filsuf dan ahli ilmu pengetahuan di zaman keemasan Islam tidak berasal dari bangsa Arab, semisal Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Jabir bin Hayyan, Al Khawarizm, atau Ibn Khaldun. Orang-orang non-Arab mau tidak mau harus mempelajari agama Islam karena mereka tinggal dan ada dalam pemerintahan yang dikuasai Islam-Arab.

Namun sebagai bangsa yang mewarisi kebudayaan besar (Persia, India, Mesir, Yunani, dan Romawi) mereka tidak mau inferior di hadapan kebudayaan Arab yang tandus. Maka terjadi persaingan kuat antara golongan Arab dan non-Arab di masa-masa ke-khalifahan. Pusat-pusat peradaban ilmu pengetahuan juga jauh dari Mekkah dan Madinah. Inilah tesis kami, bahwa sebenarnya kejayaan dan keemasan tersebut bukan disebabkan oleh impuls dari Islam itu sendiri. Argumen penulis dirumuskan dalam pertanyaan, kenapa pusat-pusat peradaban dan ilmu pengetahuan bukan di Mekkah dan Madinah sebagai jantungnya ajaran Islam? Kenapa ilmu pengetahuan pada masa itu dan sampai kini tidak bisa berkembang di jantungnya Islam?

Sebagaimana tesis Weber dalam bukunya “Sociology of Religion,” para ulama yang mengitari kuasa para khalifah justru menghambat tumbuhnya suasana ekonomi-politik dan pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut Weber, kapitalisme gagal lahir di dunia Islam, meskipun telah terjadi akumulasi kekayaan yang melimpah, tapi itu bukanlah semangat utama kapitalisme. Para ulama yang selalu ikut campur tangan dalam proses pembangunan ekonomi-politik menyebabkan negara tidak independen dan otonom. Lalu apa yang disampaikan oleh ulama kepada khalifah? Ada sesuatu yang inhern dalam ajaran Islam yang apabila dipaksakan untuk diimplementasikan dalam proses-proses pembangunan ekonomi-politik dan kemasyarakatan justeru akan menghambat kemajuan dan perubahan mendasar.

Baca Artikel Ahmad Fauzi:


Para ahli pengetahuan dan filsafat selalu bermusuhan dengan ulama yang memiliki otoritas keagamaan. Contohnya adalah Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Ibn Sina merupakan figur kombinasi antara ahli filsafat dan ilmuwan, namun dalam sejarahnya ia selalu mengalami konflik dengan kaum agamawan yang tidak bisa menerima formulasi pengetahuannya, bahkan oleh Al Ghazali, ia dikafirkan dan dipandang sesat menyesatkan. Begitu juga dengan Ibn Rusyd, seorang filsuf sekaligus hakim, yang dimusuhi oleh banyak ahli agama, buku-bukunya dibakar dan mengalami suasana konflik yang sangat menyedihkan, dan sebagainya.

Dalam masa keemasan Islam, para ahli agama terutama ulama Quran dan Hadits banyak memusuhi para pengembang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pengembangan ilmu pengetahuan kalau mau tetap hidup harus selalu jauh dari pusat-pusat kuasa ulama Quran dan Hadits. Ini fakta tersembunyi, karena khalifah mengklaim kemajuan pengetahuan sebagai keberhasilan agama Islam dalam menopang kebudayaan dan peradaban, padahal justeru sebaliknya.

Yang menyebabkan keemasan Islam pada waktu itu adalah warisan peradaban Persia, India, Mesir, Yunani, dan Romawi melakukan aktualisasi diri agar terlepas dari taklukan dan menunjukkan diri bahwa mereka jauh lebih berbudaya dan beradab dari pada kaum gurun pasir. Kesuksesan aktualisasi diri ini kemudian diklaim sebagai keberhasilan Islam dalam memajukan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Dalam hal ini penulis tidak setuju dengan pendapat Marshal Hodgson, Robert N. Bellah atau pun Ernest Gellner yang menjadi referensi utama Cak Nur ketika memuji dan menilai Islam sebagai pengikat warisan peradaban lama untuk kemudian disatukan dalam satu asas atas nama laa ilaaha illallaah.

Tesis yang menyatakan bahwa Islam sesuai dan sejalan dengan ilmu pengetahuan adalah mitos ilmiah yang dibuat para akademisi untuk menyembunyikan kegagalannya sebagai rahmat alam semesta. Situasi dan realitas kekinian telah mendengungkan betapa terpuruknya negara-negara yang mayoritas warganya beragama Islam dalam kemiskinan, kefanatikan, radikalisme, permusuhannya atas harkat kemanusiaan universal dan ilmu pengetahuan.

Apa yang menyebabkan Islam memusuhi pengembangan ilmu pengetahuan dan menjadi asam karat yang melapuki kebudayaan dan peradaban? Bukankah Al Quran memerintahkan orang beriman untuk berfikir dan mencari ilmu pengetahuan? Al Quran memang memerintahkan pembacanya untuk berfikir dan mencari ilmu pengetahuan, tapi kenapa umatnya justeru alergi dengan sains dan ilmu pengetahuan? Inilah paradoks yang terus menghantui kemunduran umat Islam dunia hingga kini dan mungkin sampai kapan pun. Kitab suci umat Islam memerintahkan untuk berfikir, tapi berfikir dalam sebuah kotak yang dibatasi aturan-aturan kaku dan dilarang untuk memertanyakan kebenaran dan ajaran pokok Islam itu sendiri.

Umat Islam bebas untuk berpikir dan berkreasi dalam ilmu pengetahuan selama kegiatan tersebut demi memuja tuhan dan mengkuduskan kenabian. Maka perintah berpikir ini tidak akan efektif, karena dihegemoni oleh delusi ketuhanan dan kultus kenabian. Al Quran dan Hadits juga tidak memiliki kosakata yang sepadan dengan sikap “kritis” untuk terbuka mempertanyakan iman dan keislaman. Sikap kritis dan ragu adalah syarat pertama mencapai pengetahuan kreatif dan menilai seluruh tradisi dan dogma lama untuk kemudian dihancurkanlah yang bersifat patologis dan membangunnya dengan pondasi baru yang lebih sesuai dengan semangat zamannya. Segala sesuatu itu berubah, yang tidak berubah hanya sifat ragu itu sendiri.

Ada sesuatu yang inhern dalam diri Al-Qur’an yang membuat banyak penganutnya gagal mengaktualisasikan keutamaan dan kebajikan universal dalam darah dagingnya sejarah. Kegagalan ini tidak hanya disebabkan oleh salah tafsir penganutnya ketika memahami Islam, tetapi Islam itu sendiri pada pusat jantungnya  memiliki kontradiksi dan mengakar pada kekacauan psikologis-akut mendalam. Tesis ini penulis tunjukkan dalam buku-buku sebelumnya yang berjudul, Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian dan Tragedi Incest Adam dan Hawa & Nabi Kriminal, juga Kesurupan Tuhan. Karena hal inilah, gerakan Islam di negara dan bangsa manapun cenderung gagal memunculkan transformasi atas struktur dasar masyarakat dan nilai-nilai yang mendasarinya.

Berdasarkan perspektif Weberian dalam studinya The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, ada hubungan yang sangat kuat antara agama dan kebudayaan. Agama yang memiliki kapasitas transformatif akan melahirkan kebudayaan yang menopang kemajuan dan modernitas masyarakat dan negaranya. Ia mampu melakukan perubahan atas struktur dasar masyarakat dan nilai-nilai yang mendasarinya (transformation of basic structure of society and its underlying values). Sebaliknya, agama disebut gagal apabila hanya bersifat ideologis dan doktrinal semata, ritualistik, cenderung  mekanis, rigid, tidak membuka diri atas kritik, mengandalkan kekerasan, dan hampir memusuhi nalar dan akal-sehat, juga tidak bisa memengaruhi umatnya menuju keutamaan dan kebajikan universal. Dengan kata lain, ia tidak berhasil melahirkan kebudayaan yang menjadi prasyarat dan penopang bagi kemajuan dan modernitas.

Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Dinamika kehidupan negeri ini selalu berdetak dengan jantung irama kehidupan Islam. Upacara keagamaan tidak pernah sepi, setiap hari jumat masjid selalu penuh dengan orang yang beribadah, pengajian rutin tidak ketinggalan, acara-acara yang mengatasnamakan agama Islam selalu ramai dan hingar bingar, tetapi kenapa korupsi makin menjadi-jadi, kemiskinan mudah hinggap pada masyarakat muslim kebanyakan, tingkat pendidikan yang rendah, fanatisme berlebihan dan kekerasan yang menggunakan term-term agama Islam begitu sering terjadi. Ada paradoks yang sangat kuat antara ritus agama Islam yang ramai dan tak pernah sepi tapi kejahatan korupsi dan sebagainya juga melaju kuat tanpa henti. Ada sesuatu yang salah dalam keberagamaan umat ini. Apakah itu? Apakah Islam gagal dalam mengantarkan bangsa ini menuju tujuan yang sebenarnya?

Agama akan mandul, atau sekedar beban dan  tumpukan dogma mati apabila tidak memiliki kapasitas transformatif dalam memajukan masyarakat dan negaranya. Korupsi, kemiskinan, kebodohan, kekerasan massal, fanatisme dan gejala intoleransi yang sedang marak seolah mendarah daging dan membudaya dalam alam pikir dan tindakan masyarakat kini.

Menurut teorema Max Weber, budaya yang lemah mengakar dalam semangat keberagamaan yang lembek dan hal tersebut pasti salah satunya memiliki asal-usul dalam stamina agama Islam yang butuh untuk disegarkan dan diperbarui dasar-dasar dan fundamennya yang terdalam. Budaya yang lemah merefleksikan  impuls agama mayoritas yang dipeluk oleh masyarakat kita gagal menopang kemajuan dan modernitas kekinian. Islam harus berani mengaku, setidaknya ia belum mampu melahirkan bentuk masyarakat dan negara maju yang selama ini sesuai dengan klaimnya sebagai agama yang berperadaban tinggi.

Islam membedakan dirinya dengan Kristen dan Yahudi, beserta agama-agama lainnya. Islam adalah agama cetak biru keteraturan sosial, di mana hampir seluruh kehidupan kita dari bangun pagi hingga akan pergi tidur lagi sudah diatur lengkap dalam syariatnya. Agama ini bukan sekedar bersifat spiritual tapi lebih merupakan gerakan untuk menyetubuhkan ajaran-ajarannya dalam darah dagingnya sejarah. Islam mencita-citakan terbentuknya masyarakat utama sesuai dengan teladan Sang Nabi. Madinah adalah kota ideal yang dijadikan pola dasar oleh seluruh umat Islam dunia, meski di kota ini sering terjadi konflik dan peperangan di masa Nabi.

Dalam Kristen, Hak Ceasar untuk Ceasar dan Hak Tuhan untuk Tuhan. Kristen bukanlah agama cetak biru keteraturan sosial secara doktrinal, ia terlalu spiritual untuk dijadikan hukum kemasyarakatan dan tidak berambisi membentuk masyarakat definitif sesuai ajarannya. Hal ini terbukti dengan terjadinya sekularisasi di Barat, di mana agama harus dipisahkan dari kehidupan negara. Tetapi kenapa, justru Barat-lah yang pertama kali memunculkan Masyarakat Industrial yang terpengaruh oleh semangat spiritual Kristen, mendahului Islam yang lebih potensial?

Apakah janji syariat Islam itu gagal? Gambarannya di  Indonesia, NU dan Muhammadiyah sebagai representasi gerakan Islam belum bisa melahirkan Masyarakat Utama yang memiliki analogi dengan tesis Weber di atas. Konfusius, Tao, Buddha, Hindu dan Shinto telah mendapatkan buah dari semangat spiritual mereka dengan melahirkan raksasa China, India, Jepang, Korea, dan Singapura. Sebagai agama mayoritas, ada apa dengan Islam di Indonesia?


Judul: IBLIS, SANG NABI PRIMITIF (Sebuah Novel Kesurupan)
Penulis: Ahmad Fauzi
Penerbit; Gubug Saloka
Harga: Rp. 45.000
Kalau mau mendapatkan EBOOK buku ini, silakan hubungi 08562674799
Bagikan :

Tambahkan Komentar