Temanggung, TABAYUNA.com - Bertempat di Rumah Makan Kampung Sawah Temanggung, dosen STAINU Temanggung Hamidulloh Ibda didapuk Dinas Kominfo menjadi pemateri dalam Sarasehan Internet Sehat, Cerdas dan Aman, Senin pagi (17/9/2018).





Plt Kepala Dinas Kominfo, Sumarlinah dalam sambutannya menyampaikan sarasehan ini dibagi menjadi 3 klaster yaitu dharma wanita, pelajar dan mahasiswa, serta karang taruna.
"Sarasehan ini sebagai edukasi dengan memeberikan pemahaman yang cukup mengenai penggunaan internet secara bijak," ucap wanita asal Kledung tersebut.


Pada zona pelajar dan mahasiswa, diisi Hamidulloh Ibda dengan materi Literasi Media Siber. Ia mengatakan, literasi merupakan usaha mendapatkan pengetahuan yang di dalamnya ada kemampuan mencari, mengolah dan menyebar informasi melalui media massa, cetak dan online, media sosial serta layanan pesan. "Media massa itu intinya ada tiga. Cetak, daring atau siber dan audio visual seperti radio dan televisi," ujar Kaprodi PGMI STAINU Temanggung itu.

Ia juga menegaskan, tantangan media massa, Kominfo dan masyarakat secara umum saat ini adalah adanya media dan berita hoax, fake, cyberbullying serta hate speech. "Kita juga dihadapkan pada media atau situs radikal, pornografi serta situs penipuan. Makanya kita harus taat pada aturan dewan pers agar tidak salah mengonsumsi berita," ujar pengurus bidang literasi media siber SMSI Jateng itu.

Pihaknya menegaskan, internet menjadi kebutuhan dasar manusia zaman now. "Namun berita hoax dan musuh di atas harus dilawan dengan melek literasi media digital," tukas dia.

Ia juga menjelaskan 12 ciri media atau berita hoax menurut Dewan Pers tahun 2017. Pertama, media atau beriranya menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan (fear arousing).

Kedua, sumber tidak jelas dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasi (whispered propaganda). Ketiga, pesan sepihak, menyerang, dan tidak netral atau berat sebelah (one-sided). Keempat, mencatut nama tokoh berpengaruh atau pakai nama mirip media terkenal (transfer device).

Kelima, memanfaatkan fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat (plain folks). Keenam, judul dan pengantarnya provokatif dan tidak cocok dengan isinya. Ketujuh, memberi penjulukan (name calling).

Kedelapan, minta supaya dishare atau diviralkan (band wagon). Kesembilan, menggunakan argumen dan data yang sangat teknis supaya terlihat ilmiah dan dipercaya (card stacking). Kesepuluh, berita atau artikel yang ditulis biasanya menyembunyikan fakta dan data serta memelintir pernyataan narasumbernya.

Kesebelas, berita ini biasanya ditulis oleh media abal-abal. Media yang tidak jelas alamat dan susunan redaksi. Keduabelas,  manipulasi foto dan keterangannya.

Menurut dia, ada beberapa solusi yang ditawarkan. Pertama, melek literasi, apakah media itu masuk kategori media pers, media abal, portal lembaga/pemerintah atau media yang tidak jelas karena tidak ada susunan redaksi, izin terbit, SIUP TDP dan izin lainnya.

Kedua, tidak tergabung dalam organisasi pers seperti PWI, AJI atau SMSI dan AMSI. Ketiga, kita harus pasang kuda-kuda dan taat klarifikasi, verifikasi atau tabayun. Keempat, laporkan juga ke Dinas Kominfo, Cyber Crime atau organisasi pers atau langsung ke dewan pers.

Kelima, abaikan jika berita itu memenuhi indikasi ciri media atau berita hoax di atas. "Intinya, kita harus jadi duta literasi dengan spirit internet yes, hoax no!" Pungkas dia. (tb44/hms).
Bagikan :

Tambahkan Komentar