Ada dua jawaban:
Pertama, jejak kultural. Tidak mungkin Syaikh Ahmad Mutamakkin bukan pejuang dakwah Aswaja An Nahdliyyah karena jejak yang ditinggalkan berupa masjid, makam, pasujudan, dan simbol-simbol legacy lainnya mengandung makna ajaran Aswaja. 

Hal ini dikuatkan dengan makamnya sebagai sentral spiritual para kiai, santri, dan masyarakat yang setiap saat tawassul dan tabarrukan kepada Beliau. Anak cucu, santri dan masyarakat yang mengikuti ajarannya menyebarkan dan mengembangkan Aswaja An Nahdliyyah di pesantren dan lembaga pendidikan formal yang ada di Kajen dan sekitarnya.


Kedua, doktrin yang ada dalam kitab Arsyul Muwahhidin yang diklaim karya Syaikh Ahmad Mutamakkin atau versi lain ditulis oleh muridnya mengandung ajaran tauhid, fiqh, dan tasawuf yang merupakan trilogi ajaran Aswaja yang tidak terpisahkan.

Bagaimana dengan kontroversi ajaran dalam Serat Dewa Ruci yang diklaim ulama Syariat kala itu Ketib Anom sebagai ajaran sesat ? Apakah aliran tasawuf Syaikh Ahmad Mutamakkin identik dengan tasawuf falsafi yang dikembangkan oleh Al Halajj, Ibn Arabi, Al Busthami, Al Farabi, Al Jili, dan Syaikh Siti Jenar ?

Insya Allah masalah ini akan didiskusikan bersama di Perpustakaan Al Mutamakkin Kajen Pati, Ahad, 23 September 2018, Pukul 13.00 WIb siang.
Bagikan :

Tambahkan Komentar