Ilustrasi suasana sidang PTUN HTI. (foto: Tempo.co).
Oleh: Fadh Ahmad Arifan
Aumnus Fak Syariah UIN Malang

Hizbut tahrir Indonesia (HTI) kembali menelan kekalahan di Pengadilan Tatat Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Mereka menggugat surat keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU -30.AHA.01.08.2017 tentang pencabutan keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian perkumpulan HTI.

Proses persidangan yang telah digelar lebih dari 15 kali. Pihak HTI maupun Kemenkumham menghadirkan beberapa saksi ahli. Pihak HTI menghadirkan Noviar Bade Rani tetangga Jubir HTI Ismail yusanto dan Dr. Daud Rasyid (Salah satu pendiri partai Keadilan). Sebelum Noviar dan Dr. Daud rasyid, HTI menghadirkan Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin.
Laman CNN Indonesia (1 Maret 2018) mengabarkan, saksi yang dihadirkan HTI merupakan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia. Didin memandang HTI berdakwah secara umum. Dalam melakukan aktivitasnya, HTI menyampaikan ajaran-ajaran Islam dalam berbagai aspeknya. Dia memandang wujud kegiatan dakwah HTI yang diketahuinya bersifat umum antara lain dakwah tulisan melalui website dan buletin, dakwah lisan melalui ceramah, lalu dakwah perbuatan dengan membantu langsung korban bencana, misalnya saat tsunami Aceh 2004 dan gempa di Yogyakarta 2006.

Beralih ke saksi Noviar Bade Rani, masih mengutip laman CNN Indonesia (7 Mei 2018), Noviar menyatakan Ismail pernah menyampaikan soal khilafah dalam salah satu ceramah di masjid dekat rumahnya. Noviar mengatakan khilafah yang disampaikan Ismail adalah sebuah contoh khilafah pada zaman nabi. Atas ceramah Ismail itu ia juga mengaku menjadi mengetahui bahwa HTI adalah organisasi yang memperjuangkan khilafah.

Selanjutnya saksi ahli Dr. Daud Rasyid. Menanggapi video yang disampaikan Pemerintah, beliau menyatakan khilafah artinya menggantikan peran nabi dalam menjaga agama dan urusan di dunia. Menurut Daud, konsep khilafah justru ditujukan untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Saksi ahli pihak Kemenkumham yakni Dr. Ainur Rofiq Al-Amin. Dalam keterangannya, Dr. Rofiq memaparkan strategi dan pergerakan HTI selama di Indonesia."HTI menginginkan tegaknya khilafah, apabila khilafah tegak, maka NKRI akan hilang. Menurut nalar pemikiran Hizbut Tahrir dan HTI, untuk menegakkan Islam, harus melalui khilafah dan khilafah itu wajib," papar Rofiq seperti dikutip laman kompas (29 Maret 2018). Di akhir kesaksiannya di hadapan hakim, Dr. Ainur Rofiq menegaskan bahwa HTI layak dibubarkan karena hendak mengganti dasar negara Indonesia, Pancasila, menjadi khilafah. 

Baca:  Inilah Daftar Pengurus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Se Indonesia Dari Unsur ASN, PNS, Pengusaha Dan Lainnya
Selain Dr. Ainur Rofiq al-Amin, turut dihadirkan mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai. Menurut beliau, Organisasi HTI berjalan normatif, berdakwah, non kekekerasan, tapi di bawah permukaan membentuk paramiliter. Menurut dia pembentukan paramiliter ini bisa diketahui pimpinan formal organisasi HTI, bisa juga tidak. Berikutnya, saksi ahli agama dari Nahdlatul Ulama (NU) yakni KH Ahmad Ishomuddin. Dalam keterangannya beliau menyatakan HTI menentang paham-paham demokrasi, karena peraturan perundang-undangan dalam paham demokrasi dibuat atau dirumuskan manusia. 

Mencermati jalannya persidangan di PTUN, ada yang “luput” dari kesaksian yang disampaikan di hadapan Hakim. Pertama, saksi ahli dari pihak HTI, yang dihadirkan justru tokoh-tokoh yang bukan menjadi bagian dari HTI. Saya yakin, pemahaman konsep Khilafah dan bagaimana prakteknya di dunia nyata versi Dr. Daud rasyid dan Prof Didin berbeda dengan yang selama ini diajarkan di halaqah-halaqah HTI. Kedua saksi ahli itu tidak memberi informasi penting kepada Hakim. Maklum saja, sumber bacaan mereka tidak sama dengan buku-buku pegangan wajib organisasi HTI.

Sumber bacaan Dr. Daud rasyid dan Prof. Didin Hafidhuddin adalah karangan ulama-ulama Ikhwanul muslimin. Antara Ikhwanul muslimin dan Hizbut tahrir punya perbedaan cara pandang dalam politik Islam. Lalu bagaimana bisa menjadi “saksi ahli” yang tepat bila yang bersangkutan tidak pernah menjadi anggota HTI?. Ini seperti menghadirkan seorang Orientalis di hadapan hakim untuk menjelaskan seluk-beluk ajaran Islam.

Kedua, saksi ahli dari Kemenkumham, saksi ahli yang sesuai dengan sidang PTUN hanyalah Dr. Ainur Rofiq al-Amin. Beliau mantan anggota HTI. Tentunya paham betul dengan doktrin-doktrin yang diajarkan kepada aktivis maupun elitnya.

Sayangnya hakim tidak menelisik lebih jauh dokumen-dokumen milik HTI yang mencantumkan “hendak mengganti Pancasila”. Mengecek langsung ke RUU Dasar Daulah khilafah tidaklah cukup. Harusnya hakim meminta Dr. Ainur rofiq al-Amin sebagai mantan HTI untuk membuka dokumen “AD/ART” milik organisasi HTI. Hingga detik ini, saya baru melihat dokumen “Kurikulum halaqah” HTI. Entahlah apakah Dr. Ainur rofiq sebagai orang yang berada cukup lama di HTI pernah melihat dokumen-dokumen yang telah saya sebutkan.

Baca: Usai HTI Bubar 7 Mei 2018, Umat Islam Wajib Lakukan 15 Hal Ini 

Dengan mengetahui dokumen AD/ART milik HTI, hakim, kemenkumham dan pihak-pihak di luar HTI menjadi tahu apakah organisasi ini berlawanan dengan ideologi pancasila, terindikasi memiliki paramiliter (kesaksian Ansyaad Mbai) hingga akan mengambil alih kekuasaan lewat kudeta.

Ketiga,  Suatu organisasi dipandang “mencurigakan” jika ada hal-hal yang disembunyikan dari khalayak umum. Selain AD/ART, nama pengurus organisasi, jumlah anggota dan mekanisme pendanaan HTI belum terkuak. Tidak akan diketahui potensi dan blueprint suatu organisasi tanpa mengetahui 3 aspek yakni AD/ART, Susunan pengurus organisasi hingga pendanaan.

Jika berkunjung ke kantor PC Nahdlatul Ulama maupun PD Muhammadiyah, tentu akan mengetahui susunan pengurusnya. Siapa nama Ketua umum, Wakil ketua, bendahara hingga penanggungjawab kaderisasi. Hal-hal tersebut tidak akan kita jumpai saat berkunjung ke kantor DPD HTI. Jumlah anggota dan Kartu tanda anggota belum diperlihatkan pihak HTI. Hal-hal yang tidak transparan ini hanya menimbulkan prasangka. Ini serupa dengan Freemasonry dan illuminati, sebuah perkumpulan rahasia di Barat. Tidak diketahui seperti apa AD/ART, Susunan pengurus organisasi hingga pendanaannya.

Melalui saksi ahli yang tepat, membuka dokumen AD/ART HTI hingga susunan pengurus Organisasi akan mengantarkan hakim dan peserta sidang PTUN kepada dua konklusi, “kiprah HTI belawanan dengan Pancasila” dan  “Mengancam keutuhan NKRI”. Apabila ketiga hal tadi belum mampu dihadirkan oleh pihak HTI maupun kemenkumham, maka dasar pencabutan badan hukum perkumpulan (BHP) milik HTI terkesan dipaksakan. Saya khawatir, Kemenkumham akan kerepotan ketika pihak HTI mengajukan banding dan kasasi. Wallahu’allam. (tb4).

Bagikan :

Tambahkan Komentar